Senin, 30 Mei 2011

Forever And Always

Once upon a time, I believe it was a Tuesday when I caught your eye
And we caught on to something
I hold on to the night, you looked me in the eye and told me you loved me

Were you just kidding?

'cause it seems to me, this thing is breaking down
We almost never speak
I don't feel welcome anymore
Baby what happened, please tell me?

'cause one second it was perfect, now you're halfway out the door

And I stare at the phone, he still hasn't called
And then you feel so low you cant feel nothing at all
And you flashback to when he said forever and always
Oh, and it rains in your bedroom
Everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
Cause I was there when you said forever and always

Was I out of line?
Did I say something way too honest, made you run and hide
Like a scared little boy
I looked into your eyes
Thought I knew you for a minute, now I'm not so sure

So here's everything coming down to nothing
Here's to silence that cuts me to the core
Where is this going? Thought I knew for a minute, but I don't anymore

And I stare at the phone, he still hasn't called
And then you feel so low you cant feel nothing at all
And you flashback to when he said forever and always
Oh, and it rains in your bedroom
Everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it baby, I don't think so

Back up, baby, back up
Did you forget everything
Back up, baby, back up
Did you forget everything

'cause it rains in your bedroom
Everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'cause I was there when you said forever and always

Oh, I stare at the phone, he still hasn't called
And then you feel so low you cant feel nothing at all
And you flashback to when we said forever and always

And it rains in your bedroom
Everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it baby, you said forever and always... yeah

Kamis, 19 Mei 2011

Hidupmu Hidupku

HIDUPMU HIDUPKU 4

Sumpah mati aku cinta..
Cinta kepadamu..
Hanya dirimu..
Sungguh ku bisa gila..
Bila tanpamu..

(Sumpah mati-five minutes)

>><<

“Ah gombal kamu. aku ngga percaya” ucap seorang gadis saat mendengar pengakuan kekasihnya yang lebih dianggap sebagai rayuan belaka.

Kekasih gadis itu tersenyum. Sambil memegang jemari gadisnya, Ia menimpali. “Yah terserah sih kalo kamu ngga percaya. Aku bisa kok buktikan ke kamu, kalo aku cinta, sayang, dan akan ngelakuin apapun untuk menjaga kamu”

Gadis itu mencibir. Kekasihnya masih berekspresi tenang. “Oke. Aku ulang lagi ya..Shilla, aku cinta sama kamu. kamu adalah anugrah terindah dari Tuhan yang telah diberikan untuk aku. aku bakal menjaga kamu, aku akan setia sama kamu, aku ngga akan sakiti kamu, aku akan korbankan apapun agar kamu tetap disampingku. Karna..hidupmu itu juga hidupku”

Gadis yang bernama Shilla, tersenyum mendengar pengakuan kekasihnya (lagi).
“Cuma bisa ngomong sih semua orang juga bisa Vin. Aku pengen bukti”

“Cuma itu yang kamu mau ? oke..siapa takut” selesai berkata, Alvin, begitulah lelaki itu disapa, bangkit dan melangkah menuju dapur cafĂ©. Sekembalinya, Ia membawa sesuatu yang Ia sembunyikan dibalik punggungnya.

“Apa itu Vin ?”tanya Shilla penasaran.

“Liat nih ya” bukannya menjawab, Alvin malah menyingsingkan lengan kemejanya, hingga menampakan lengannya yang putih. Lalu pemuda itu mengeluarkan benda yang sedari tadi disembunyikan di balik punggung.

Seketika, aura cerah dari wajah sang gadis redup. Tak pernah dibayangkannya akan apa yang dilakukan kekasihnya dengan benda tersebut.

“Liat pisau ini ? kamu mungkin ngga akan percaya kalau hanya dengan ucapan. Tapi, apa kamu percaya sama yang namanya…sumpah darah ?”

“Vin..jangan gila, oke..aku percaya sama kamu” balas Shilla sebelum hal yang tidak diinginkannya terjadi.

Alvin menggeleng. “Ngga. Liat…” selesai berkata, perlahan..Alvin menggoreskan pisau tersebut ke tangannya. Sekilas telah membentuk huruf ‘A & A’. ukiran huruf tersebut berwarna merah segar, yang berasal dari darah Alvin. tak ada ekspresi ketakutan atau kesakitan dari Alvin, pemuda itu nampak tenang, seolah olah Ia tengah menggambar tangannya dengan crayon, bukan dengan pisau.

“Stop !! udah cukup, aku percaya sama kamu” gadis itu mencegah, sebelum luka ditangan Alvin semakin besar. Alvin tersenyum dingin.

“Kamu tau kan ? aku ngga pernah main main dengan apa yang aku ucapkan”


>>><<<

“Vin, kamu ada acara ngga ?” tanya Shilla di telpon.

“Ngga ada, free kok. Kenapa ?”

“Ke rumah yuk. Temenin aku..lagi repot nih” pinta Shilla. Sesekali terdengar kegaduhan yang berasal dari tempat Shilla.

“Shill, katanya sendirian ? kok rame banget sih..ada apa di rumah ?” tanya Alvin heran.

“Aduh Bastian jangan berantakin dong…” terdengar suara dari Shilla, bukan untuk menjawab pertanyaan Alvin, melainkan seperti berbicara dengan orang lain.

“Maaf Vin..tadi kamu tanya apa ?” Shilla balik bertanya.

“Hmm..dirumah ada Bastian ya ?”

“Iya. Tadi tante Irma nitipin dia ke aku. repot banget jagain dia, nakal..makanya kamu kesini ya”

“Oke..aku kesitu secepatnya”

Setengah jam kemudian, Alvin sampai.

“Shill, aku dat….” Belum selesai pemuda itu mengucap salam, sebuah benda melayang, mengarah ke dahinya.

BUUKK !

“..ahahahahaha…” saat itu juga muncul seorang bocah 5 tahun-an dengan tawa yang masih nyaring terdengar sembari sesekali menunjuk Alvin.

“Bastian !! jangan nakal ya kamu…” omel Shilla. Rupanya tadi robot mainan Bastian sengaja dilempar bocah itu. namun tak sengaja melayang dan mencium jidat Alvin.

“Ngga sopan tau ngga sih…kamu harus minta maaf sama Om. Cepet !” paksa Shilla. Tatapan gadis itu beralih kearah kekasihnya yang masih berdiri pada posisinya. “Maaf ya Vin. Maklumin aja, Bastian emang nakal banget”


Tak ada jawaban dari Alvin.

“Bastian, tante nyuruh kamu apa ?!! minta maaf sama Om Alvin kan ? ayoo cepetan minta maaf !!” kali ini, perintah Shilla makin keras. Sekilas terdengar seperti bentakan.

“Ngga mauuuuuuu !!!!” bocah plontos itu melarikan diri, menaiki anak tangga. mungkin bermain di balkon.

“Vin..maaf ya, maafin keponakan aku” ucap Shilla cemas. Apalagi saat melihat memar biru keunguan di dahi kekasihnya.

Alvin memberikan senyumnya. “Iya ngga papa. Wajar aja, dia kan masih kecil. Lagi bandel bandelnya. Aku juga punya kok keponakan seumuran Bastian”

“Hmm..makasih ya” ujar Shilla. Alvin melihat ada yang aneh dari wajah Shilla.

“Kamu kenapa Shill ?”tanya Alvin khawatir.

Gadis itu memijat pelipisnya. “Kepalaku pusing Vin..”

“Udah makan ?” sambil bertanya, Alvin membimbing Shila untuk duduk di sofa.

Shilla menggeleng. “Ngga sempet, karna aku harus jagain Bastian. Dia bandel banget”

“Cuma itu ? ckck..yaudah, kamu sarapan dulu, biar aku yang jagain Bastian” usul Alvin lembut.

“apa ngga ngerepotin ? kamu liat kan tadi, Bastian nakalnya minta ampun”

Alvin menggeleng sambil menyentilkan ibu jari dan jari tengahnya. “Itu mah gampang. Udah sana sarapan dulu. percaya deh, Bastian pasti nurut sama aku”

“halah beneran ya..oke aku sarapan dulu” Shilla melangkah kearah dapur. Sementara Alvin menaiki anak tangga, menyusul Bastian yang tengah bermain mobil mobilan di balkon.

Satu jam kemudian..

Gadis itu menaiki satu persatu anak tangga. baru saja Ia selesai menjalani ritual ‘mengisi perut’, lalu membereskan rumah yang sempat di obrak abrik makhluk kecil yang merupakan keponakannya sendiri. Shilla baru bisa melihat Bastian satu jam kemudian.

Aneh. Dari jaraknya sekarang, yang hanya tinggal 3 anak tangga lagi, Shilla tak mendengar suara apapun. Hening. Apa Bastian tidur ? ah tidak mungkin. atau..Alvin mengajak Bastian main di tempat lain ? itu juga tak mungkin. karna sedari tadi Shilla tak melihat keduanya menuruni tangga. karna penasaran, gadis itu memutuskan untuk melanjutkan langkahnya.

“ayoo tanding lagi lawan Om, nanti kalo Bastian menang, Om mau deh jadi kudanya Bastian. Kalo Bastian kalah, Om boleh minta apapun dari Bastian. Deal ?” ucap sebuah suara yang terdengar lembut dan pelan. Dari tempat Shilla berdiri, Ia bisa melihat Alvin dan Bastian duduk membelakanginya. Keduanya tengah asik bermain mobil-mobilan.

“Vin…” sapa Shilla pelan. Alvin menoleh. Demikian juga dengan Bastian.

“Hei, udah selesai sarapannya ?”

Shilla mengangguk. “Udah”

“Bagus deh kalo gitu. Jadinya kamu ngga akan pusing lagi”

Dengan ekspresi heran, Shilla menunjuk Bastian dan Alvin secara bergantian. “Ummm…kalian ?”

“Liat kan ? aku bisa bikin Bastian nurut. Dari tadi kami asik main loh. gimana Bastian, enak kan main sama Om ?” tanya Alvin.

Tak ada jawaban dari bastian. Bocah itu terdiam untuk beberapa saat.
“Ummm..i..iya, e..enak ma..main sam..sama Om”

“Denger kan Shill ? sekecil apapun, seorang Alvin ngga pernah main main sama ucapannya”

Shilla tersenyum. “Iya iya aku percaya. Ak…”

Tap..tap..tap
Bocah tersebut berlari, menuju kamar Shilla yang terletak di samping balkon.

BRAK !
Dan membanting pintu, serta menguncinya.

“Bastian kenapa ?” tanya Shilla heran. Alvin mengedikkan kedua bahunya. Pemuda itu mencegah Shilla kala gadis itu melangkah menyusull Bastian.

“Udah biarin aja, mungkin dia kangen sama mamanya”

“Tapi Vin..”

“Udah, kita kebawah aja yuk” Alvin menggandeng Shilla menuruni anak tangga.

>><<<

Alvin tak hentinya menatap tajam sepasang mata yang juga sedang menatapnya. Tatapan keduanya nampak sengit, dingin. Menggambarkan kebencian yang tertanam kuat dalam diri mereka satu sama lain. Namun saat seorang gadis menghampiri Alvin, pemuda itu lebih memilih mengalihkan pandangannya.

“Vin..? kamu ngga papa ?” tanya Shilla.

Alvin melirik Shilla sinis melalui ekor matanya. “Kayanya kakak kamu beneran ngga suka sama aku ya ?”

“Maksud kamu ?”

“Tuh, pas dia nganter kamu. liat ngga ? matanya udah mau keluar gara gara melototin aku” sindir Alvin.

“Ya ampun Vin, kamu salah sangka. Ka Riko ngga kaya gitu kok. Dia bukannya ngga suka sama kamu, tapi dia itu…”

“Dia itu kurang suka sama aku ? oh aku tau, dia kan pengennya nyomblangin kamu sama si..sapa itu, Cak..Cakka, temen kecil kamu”

“ALVIN !!”

“Kenapa ? emang bener kan ?”

“Aku sama Cakka itu ngga ada hubungan apa-apa. Kami sahabatan sejak kecil. Dan kamu tau itu kan ?”

“Hei, dan kamu juga tau, kalo dia nyimpen rasa ke kamu !”

“Ya aku ngga peduli, toh aku sayangnya tetep sama kamu”

Alvin menatap Shilla. “Bener ?”

Shilla mengangguk.

“Janji kamu ngga akan pergi dari aku ?”

“Janji”

“Dan aku janji, aku bakal mengusik siapapun yang udah nyoba ngambil kamu dari aku” lirih Alvin.

>><<<

Sore itu, Alvin mengajak Shilla jalan jalan ke pusat perbelanjaan. Pemuda itu minta ditemani untuk belanja kebutuhan harian. Maklum saja, Alvin sudah lama tinggal sebatang kara. Makan dan kuliahnya digantungkan pada uang warisan serta tabungan peninggalan kedua orang tuanya.

“Vin, emang kamu ngga takut gitu tinggal sendirian di rumah yang gede ?” tanya Shilla saat Alvin sibuk memilah milih barang.

“Ngga lah. Ngapain takut ? udah 5 tahun aku hidup sendiri” jawab Alvin seraya memasukkan satu kaleng kornet kedalam trolly.

“seenggaknya cari pembantu kek, atau siapa gitu yang bisa nemenin kamu”

“Buat apa ? aku bisa kok ngelakuin pekerjaan rumah sendiri. dan lagi kamu lupa ? kan ada Mbok Inah yang dateng setiap 2 minggu sekali buat beresin rumah. Kalo masak sih bisa aku tanganin”


Alvin mengambil alih trolly, lalu mendorongnya. Sementara Shilla melangkah mengiringinya. Swalayan tersebut cukup ramai. Sehingga banyak orang berlalu lalang dengan trollly mereka.

“Iyaa, tapi kan tetep aja kam…aww !!” pekik Shilla. Oh rupanya roda trolly yang dikemudikan oleh seorang lelaki kurus berkacamata tak sengaja melenggang bebas diatas kaki Shilla. Terang saja gadis itu memekik kesakitan.

“Shill kamu ngga papa ?” tanya Alvin cemas. Shilla tak menjawab. Gadis itu meringis menahan sakit. Alvin membungkuk dan melepas pantofel Shilla. Nampak luka memar kecil akibat tabrakan trolly tadi.

“Aduh..maaf ya mba, saya ngga sengaja” kata lelaki cungkring itu.

Shilla mengangguk,walau masih ada ekspresi kesakitan diwajahnya. “Iya mas, ngga papa”

“Ngga papa gimana ? memar gini bilang ngga papa ??!!” ceplos Alvin keras. Semua mata pengunjung swalayan beralih ke mereka.

“Udah Vin, aku beneran ngga papa kok” Shilla menenangkan.

“Ngga bisa gitu dong, masa Cuma minta maaf doang sih !!”

“Eh mas, biasa aja dong. Denger sendiri kan cewenya bilang ngga papa, kok situ yang sewot sih ?” ujar lelaki berkacamata.

“Heh ! loe liat kaki cewe gue ? LIAT BAIK BAIK !!” bentak Alvin keras. Sembari menekankan kepala lelaki kurus itu supaya menghadap kaki Shilla.

“Liat ? masih bisa dibilang baik baik ?” tanya Alvin keras. Lelaki tersebut menatap Alvin aneh. Bukan hanya lelaki itu, tapi juga Shilla. Dan beberapa pasang mata milik pengunjung swalayan. Sebenarnya bukan masalah lelaki itu mau minta maaf atau tidak. bukan masalah seberapa besar luka yang terukir dipunggung kaki Shilla. Akan tetapi, reaksi Alvin saat gadisnya disakiti. Sungguh berlebihan mungkin ?

“Udah lah Vin..ngga enak kan diliat banyak orang. ayuk ah ke kasir. Udah selesai semua kan ?” demi mencegah sesuatu yang tak diinginkan, Shilla menarik tangan Alvin menjauh dari tempat. Pandangan mata Alvin masih saja menatap sengit lelaki itu.

>><<<

“kamu tuh kenapa sih ? aku ngga pernah loh liat kamu seemosional tadi ?” tanya Shilla kala keduanya tengah berjalan beriringan keluar swalayan.

“Terang aja dong aku ngga terima, dia udah nyakitin kamu” sungut Alvin yang tingkat emosinya masih berkali lipat.

“dia ngga sengaja Vin. Aku ngga papa dan lagipula dia udah minta maaf” ucap Shilla.

“Ck, iya..tapi kan tetep aja dia salah. Kamu lupa apa janji aku ke kamu ? aku bakal selalu jagain kamu”

“Tapi kamu terlalu berlebihan. Ngga seharusnya kamu marah marah ga jelas sama orang tadi”

“Ah udah lah. Ngapain sih ngurusin dia” keduanya berdiam.

“Hei, Alvin kan ?” sapa seorang laki laki. Alvin menoleh ke sumber suara.

“Iya, gue Alvin. loe siapa ?”

“Loe ga inget sama gue ? Septian ?” ucap lelaki itu. Alvin memasang ekspresi berfikir. Tak lama, air mukanya berubah.

“Wei Bro, kemana aja loe ?” tanya Alvin seraya menyalami Septian.

“Gue nguli di Spore. Nih lagi liburan. Sekalian cuci mata, siapa tau aja ada cewe cantik di Jakarta. Ye ga ?” jawab Septian sekenanya. Pandangan laki laki itu beralih ke Shilla, yang notabene lumayan manis.

“Ehem..siapa nih Vin ?” tanya Septian sambil menunjuk Shilla dengan dagunya.

“Oh, ini Shilla. Dia…” belum sempat Alvin berucap, Septian sudah menyela. “Ck, manis juga. boleh dong kenalan” godanya sembari menoel dagu Shilla. Melihat itu, Alvin cepat meraih tangan Septian.

“Heh, jangan kurangajar loe !!” tegasnya.

“Aww..santai Vin, emang dia siapa sih ?” tanya Septian yang juga tengah menyembunyikan rasa sakit akibat cengkraman tangan Alvin yang semakin kuat.

“Dia..cewe gue”

“Oh, ya maaf deh kalo gitu, gue ngga tau” pinta Septian.

“Udah Vin” Shilla ikut-ikutan cemas.

“Maaf ? nih special buat loe..karna pertama, loe udah motong ucapan gue. kedua, loe udah kurangajar sama cewe gue..jaga tangan loe. rasain nih”

Kreeeekkk..

“Awww !! GILA LOE VIN !!” Septian meringis memegangi lengannya. Entah seberapa kuat Alvin memuntir lengan Septian hingga menimbulkan bunyi seperti tulang patah.

“Vin, kamu gila, tangannya patah !” ujar Shilla sambil berusaha menyamakan langkah Alvin yang semakin menjauh. Pemuda itu tak menggubris. Tetap melanjutkan langkahnya dengan pandangan mata lurus kedepan.

“Vin, apa sih yang terjadi sama kamu hari ini ? pertama, kamu kasar sama cowo di swalayan tadi. kedua, kamu muntir tangan temen kamu sendiri ?” Shilla mengajukan pertanyaannya lebih keras. Benar saja, Alvin menghentikan laju kakinya. Lalu menoleh ke Shilla.

“Inget janji aku untuk selalu jaga kamu ? dan kamu tau kan, aku ngga pernah main main sama ucapan yang keluar dari mulutku” lirihnya.

>><<<

“Gue bingung Cak, sikapnya Alvin akhir akhir ini aneh banget. Tau ga sih ? dia marahin dosen gara gara dosen itu ngehukum gue. terus, dia nonjok temen sekelas gue pas kami lagi bahas pelajaran. Dan yang paling parah loe tau ? dia nyaris nabrakin motornya ke Dhea, cewe yang tempo hari ngelabrak gue gara gara masalah kampus” curhat Shilla saat Cakka berkunjung ke rumahnya.

“Loe udah tanyain penyebabnya ?”

Shilla mengangguk. “Udah. Katanya dia ngelakuin itu untuk ngejagain gue. karna sebelumnya dia emang pernah janji buat selalu ada disamping gue, jagain gue”

“Terus ?”

“Gue tau Alvin ngga pernah main main. Dulu aja dia pernah nekat ngukir inisial nama kami berdua di lengannya pake pisau. Nah wajar ngga sih ?”

“Hmm..menurut gue Alvin itu terlalu posesif kali ya. dia pengen loe jadi miliknya, seutuhnya. Tanpa berbagi dengan siapapun. Makanya dia nyingkirin siapapun yang coba deketin loe”

“Iya, tapi yang gue ngga habis pikir itu caranya. Caranya yang..um..kasar. gue denger denger tangannya Septian patah, dan harus di gips. Keterlaluan kan Alvin ?”

Cakka menghela. “Gue tau kok perasaan loe. Loe pasti dilema kan ?”

“Entahlah Cak, awalnya gue kagum sama pribadi Alvin yang lembut. Tapi sejak kejadian di swalayan itu, gue jadi takut sama dia” lirih Shilla.

“Apa gue minta putus aja ya Cak ?” tanya Shilla.

“Terserah loe. Tanya sama hati loe, karna disanalah loe nemuin jawabannya” pesan Cakka. Shilla tersenyum tulus. “Makasih ya Cak, loe emang sahabat gue yang paliiiiing baik”

“Iyadong..sapa dulu. hehe. Udah, jangan sedih lagi ya” selesai berkata, Cakka merangkul Shilla. Gadis itu meletakkan kepalanya di bahu Cakka.

Tidak, rupanya ada sepasang mata yang menatap pemandangan itu dengan dinginnya. Tatapan sengit, emosi bergemuruh dalam dirinya.

“gue ngga pernah main main sama ucapan gue” gumam Alvin. tanpa berfikir panjang, pemuda oriental itu turun dari Cagivanya, sambil menenteng helm dengan setengah berlari , Ia menghampiri gadisnya dan Cakka.

“Cakka” sapanya halus. Begitu Cakka mendongak..

BUKK !

Dengan gerakan cepat, Alvin memukulkan helmnya kearah wajah Cakka. Pemuda itu tersungkur, pipinya berdarah. Namun itu tak membuat Alvin puas, kembali Ia mendekati Cakka.

BUKK !

Satu lagi pukulan helm.

BUKK !

Saat Alvin akan melayangkan helmnya untuk yang ketiga kalinya ke wajah Cakka, Shilla keburu mencegah.

“STOP Vin !! stop !! helm kamu ngelukain Cakka” teriak Shilla. Permohonan gadisnya membuat Alvin membuang helmnya. Shilla menarik nafas lega. Dipikirnya dengan membuang helm, Alvin bakal berhenti melukiskan luka di badan Cakka. Ternyata…tidak.

BUKK !
BUKK !
BUKK !
Mungkin menurut Alvin, tak ada helm, bogem dan tendanganpun jadi. Cakka mungkin telah memasrahkan badannya di pukuli Alvin. namun Shilla, yang menjadi saksi kekalapan Alvin, masih mencari cara untuk menghentikan tingkah gila Alvin.

“Udah Vin !! pliss aku mohon berhenti..”

“Ngga !! dia udah brani meluk meluk kamu ? apa coba ? bakal aku kasih pelajaran dia !” satu tonjokan lagi. hendak Alvin sarangkan ke wajah Cakka yang mulai memerah karna darah. Dan ungu karna lebam.

Pemuda itu mengambil ancang-ancang untuk menonjok mangsa didepannya.
“Buat loe yang udah brani macem macem sama cewe gue !”

BUKK !
Bukan, bukan Cakka yang menjadi korban. Tapi, Shilla. Gadis itu tersungkur menyambut bogem langsung dari kekasihnya. Melihat Shilla terluka, Alvin menghampiri.

“Kamu ngga papa ?”

“Aku ngga mau liat kamu lagi” lirih Shilla. Gadis itu lalu membantu Cakka berdiri. Kemudian pergi meninggalkan Alvin yang mungkin, tengah menyesali apa yang Ia perbuat.

“Maafin aku Shill, aku lakuin ini hanya untuk ngelindungin kamu”

>>><<<

“Pipi kamu kenapa ?” tanya Riko saat melihat adik perempuannnya tengah mengompres sudut bibirnya dengan air dingin.

“Ngga papa kok ka, Cuma kejedot pintu pas mau ke toilet” dusta Shilla. Riko menyernyitkan dahi. Pemuda itu berjalan mendekati Shilla. Lalu mengangkat wajah Shilla. Dan memperhatikan luka di sudut bibir adiknya.

“Jangan boong sama kaka. Memar ini kaya..bekas tonjokan” mendengar itu, Shilla cepat cepat memalingkan wajahnya.

“Ah kaka ini, ya ngga lah. Ditonjok siapa coba”

“Shill, jujur sama kaka. Alvin kan yang udah ngelakuin ini ke kamu ?” tanya Riko lirih namun tegas.

“Umm..”

“Dia juga kan yang udah mukulin Cakka sampe Cakka harus opname di rumah sakit ?” tanya Riko lagi.

“Ka, Alvin ngga sengaja, dia ngga bermaksud untuk…”

“Sengaja atau ngga sengaja, dia udah melukai kamu dan Cakka. Shilla..kaka kan udah bilang, Alvin itu ngga baik buat kamu. kamu ngga tau siapa dia ?”

“Kaka ngga pernah jawab pertanyaan aku setiap aku tanya siapa Alvin”

“Oke, gini ya..kamu masih inget, saat kaka ikut tawuran setahun yang lalu ?” Shilla mengangguk.

“Tawuran yang bikin temen kaka meninggal gara gara di tusuk sama lawan pake golok ?” Riko menyambung ceritanya.

“Dan kamu tau siapa pelakunya ?” Shilla menggeleng.

“Alvin”

Shilla terperanjat. “Ngga mungkin ka. Kaka gausah becanda deh. Alvin ngga mungkin terlibat sama hal kaya gitu”

“He’em..buat tambahan, Alvin itu ketua geng lawan kaka tawuran dulu. apa itu belum cukup ? demi kebaikan kamu Shill, putuskan Alvin sekarang juga”

“A..aku ngga bisa ka”

“Kenapa ?”

“Aku masih sayang sama dia”

“Tapi dia membahayakan kamu Shill. Dia itu gila” ucap Riko.

“Entahlah, aku masih belum percaya”

“Ck, terserah kamu. cape kaka nasehatin kamu” Riko berlalu. Meninggalkan Shilla sendirian.

>><<

“Apa hak loe ngelarang gue jauhin Shilla ? dia sendiri ngga bisa jauh dari gue” ucap Alvin kala Riko mendatanginya, dan memintanya untuk menjauh dari Shilla.

“Jelas gue ada hak. Adek gue ngga boleh deket deket sama psikopat macem loe !”

“Jaga mulut loe. Yang psycho itu gue, atau loe ?”

“sesuka loe. Yang jelas, gue mau loe ngaca. Cewe macem adik gue itu pantesnya sama cowo yang berpendidikan kaya Cakka. Bukan cowo abnormal kaya loe. Paham ??!! gue tekankan lagi..JAUHIN ADIK GUE !” sebagai penghormatan terakhir sebelum pergi, Riko sempat mendorong kasar bahu Alvin, hingga pemuda itu menubruk sesuatu dibelakangnya.

Sepeninggal Riko, amarah membuncah dalam diri Alvin. entah apa yang ada dalam benaknya, Ia mendatangi satu tempat untuk menemui seseorang.

“Mau apa loe kesini ?” tanya penguasa tempat itu.

Alvin berlutut. “Buat gue babak belur”

>><<

TING TONG..

Kreeeek..
“Eh tante Irma. Tumben kesini ga bilang bilang ?” sambut Shilla saat mendapati Tantenya dan Bastian telah berdiri di balik pintu.

“Iya, boring nih di rumah. Eh kok sepi Shill ? mana yang laen ?”

“Papah kan masih di Bangkok. Kalo mama udah berangkat ke rumah sakit. Terus ka Riko pergi ga tau kemana”

“Oh jadi sendirian aja kamu ?”

“Iya tan”

Shilla mengekor Tante Irma duduk di sofa.

“shill, tante mau tanya sesuatu sama kamu”

Shilla menaikkan satu alisnya “apa tan ?”

“Ada kejadian aneh ngga saat tante menitipkan Bastian tempo hari disini ?” tanya tante Irma serius.

“Maksud tante ? setau aku sih ngga ada Tan. Semua berlangsung biasa aja. Emang kenapa Tan ?”

“Aneh ya. sepulang dari sini, Bastian jadi beda. Apa ya ? tadinya kan dia hipperaktif. Eh pulang pulang langsung masuk kamar. Tante pikir dia sakit. Pas tante bawa ke dokter, katanya memang demam. Tante ngga sempet nanya ke kamu. karna tante pikir itu Cuma efek demam. Tapi ternyata saat demam Bastian sembuh, sikapnya ngga berubah. Jadi pendiam dan..lebih suka menyendiri. Kenapa ya ?” jelas tante Irma.

Shilla menyernyitkan dahi. “masa sih Tan ? umm..Bastian ngga mau ngaku ?”

Tante Irma menggeleng. “Tante sama Om udah bujuk sebisa kami. tapi tetap saja ngga berhasil. Coba kamu bujuk, mungkin dia mau buka mulut”

“Oke, Shilla coba ya Tan” Shilla bangkit dan menghampiri Bastian yang tengah bermain di gazebo.

“Dek, kamu kenapa ? kok daritadi diem aja ?” tanya Shilla lembut. Bastian menggelengkan kepala.

“Bastian kenapa sih ? oh..atau, Bastian pengen main lagi sama Ka Alvin ?” tak dinyana, mendengar Shilla menyebut nama Alvin, Bastian beringsut. Badannya bergetar. Mukanya nampak ketakutan.

“Loh Bastian kenapa ?”

“Ka..Ka Alvin ja..jahat sama aku”

“Jahat ? jahat gimana ? cerita sama tante” bujuk Shilla lembut.

>><<

“Pas..pas Tian main di balkon..ka Alvin nyusul Bastian. Kata Ka Alvin, tante Shilla lagi sarapan. Terus ka Alvin ngajak Tian main. Awalnya tian ngga mau, tapi ka Alvin maksa. Ka Alvin ngeluarin piso dari saku celananya, terus gendong tian ke balkon, mau jatohin tian. Tian mau nangis tapi ga dibolehin sama ka Alvin. ka Alvin deketin pisonya ke Bastian. Katanya, Bastian harus nurut sama tante Shilla. Ngga boleh buat tante pusing. Ngga boleh nyusahin tante. Kalo ngga..kalo ngga ka Alvin bakal jatohin tian dari atas balkon. Terus ngelukain tian pake piso itu”

Shilla tak habis pikir mendengar pengakuan Bastian. Ternyata selama ini dia sudah salah sangka mengenal sosok Alvin. jelas Ia mempercayai Bastian. Mana mungkin anak seusianya berbohong ? dengan bermodal pernyataan itulah, Shilla memantapkan hati untuk menemui Alvin. dan memutuskan hubungan mereka.

TING TONG..

“Iya sebentar” Setengah berlari, Shilla menuju pintu.

Kreeeeek..

“Astaga Alvin, kenapa sama kamu ?” pekik Shilla kala melihat kekasinya dalam keadaan yang tidak seharusnya. Lebam di wajah, pakaian yang lusuh, serta darah yang mengalir dari pelipis.

“Biarin aku masuk Shill, sakiiitt” pinta Alvin. Shilla memapah Alvin dan mendudukkannya di sofa. Gadis itu sempat mengambilkan air dingin dan alkohol untuk mengobati luka Alvin.

“Kamu kenapa bisa begini Vin ?”tanya Shilla seraya mengoleskan kapas alkohol ke pelipis Alvin.

“apa salah kalo kita pacaran ?” bukannya menjawab, Alvin malah balik bertanya.

“He ? ya ngga lah. Emang kenapa ?”

“Apa salah kalo aku pengen terus ada disamping kamu ?”

“Ngga sal…”

“Apa salah kalo aku mencintai kamu lebih dari diriku sendiri ?”

“Vin..”

“Ini semua gara gara Riko. Riko datengin aku, dan minta aku buat jauhin kamu. aku ngga mau ninggalin kamu karna aku sayang sama kamu. dan aku janji aku ngga akan pergi jauh dari kamu. tapi Riko ngga terima sama keputusanku. Dia sama temen-temennya nyerbu dan ngeroyok aku. sampe begini” terang Alvin.

“Ngga mungkin..ka Riko ngga kaya gitu”

“Terserah kalo kamu..kalo kamu ngga percaya”

Dilema. Rada susah jika mengingat posisi Shilla sekarang. perlakuan Alvin terhadap siapapun yang mencoba mengganggu Shilla. Ditambah pernyataan Bastian. Sudah cukup meyakinkan siapa Alvin sebenarnya. Namun melihat kondisi Alvin sekarang, tak mungkin Ia berbohong.

“Ya, aku percaya. Nanti bakal aku tegur ka Riko”

>><<

“Sumpah demi apapun Shill, kaka ngga ngelakuin itu !! kaka emang datengin dia, tapi sehabis bilang apa yang kaka mau, kaka langsung pergi. ngga nyentuh dia sedikirpun” protes Riko saat Shilla menyalahkannya.

“Tapi Alvin kesini dengan keadaan babak belur. Apa itu masih belum cukup untuk kaka ?”

“itu Cuma akal akalannya aja..ayolah Shill, dia licik”

“Ngga. Aku ngga percaya sama kaka”

“SHILL !!”

Shilla tak menggubris. Gadis itu mengambil tasnya, lalu keluar rumah. Melarikan diri dari perdebatan yang belum selesai.

>><<

‘gue harus ke rumah sakit. Gue kudu curhat ke Cakka. Gue ngga tahan hadapain semuanya’ batin Shilla. Gadis itu menyusuri koridor bangunan yang identik dengan warna putih dan bau obat itu. hingga sampailah ke ruang VIP, tempat sahabatnya dirawat.

Selangkah lagi menuju pintu. Gadis itu mengurungkan niat begitu melihat apa yang ada didalam. Sesosok pemuda bertubuh tegap proposional, tengah berdiri membelakang pintu. Tangannya memegang bantal. Dari belakangpun Shilla paham betul siapa dia.

ALVIN.

Perlahan, Shilla membuka pintu ruangan. Agar terdapat celah supaya Ia bisa mencuri dengar apa yang dikatakan Alvin kepada Cakka yang masih terlelap.

“Gue tau loe ada rasa sama cewe gue. gue tau loe kenal sama cewe gue lebih dari gue. gue tau Cuma loe yang ngerti luar dalem cewe gue. tapi seberapapun istimewanya loe, ngga ada yang boleh gantiin posisi gue disamping Shilla. Cuma gue. gue janji sama diri gue sendiri, bakal nyingkirin siapapun yang coba rebut posisi gue. dengan cara apapun. Semua orang tau, gue ngga pernah main main dengan ucapan gue” ungkap Alvin. Shilla tersentak saat Alvin mengangkat bantal ditangannya keatas, hendak diarahkan ke kepala Cakka.

“Alvin..aku ngga nyangka” lirih Shilla. Sontak Alvin menoleh, lalu membuang bantal tersebut.

“Shill, ini ngga kaya yang kamu bayangin”

“Ternyata semua Cuma rekayasa ? semua palsu ? aku salah nilai kamu” Shilla berlari keluar, airmata tak sanggup tertahan olehnya. Sepanjang jalan, gadis itu menangis. menangisi kebodohannya memilih Alvin. gadis itu tak mempedulikan panggilan Alvin yang mengejarnya.

“Shill, aku bisa jelasin. Aku sayang sama kamu Shill. Itulah alesan kenapa selama ini aku over protectif ke kamu”

Gadis itu tak menanggapi. Ia masih berlari, menyebrangi jalan menuju halte diseberang.

“Shill, aku sayang kamu. plis maafin aku. buat aku, hidupmu hidupku..”

TINN..TINN..

Karna terlalu serius memohon ampun kepada Shilla, Alvin sampai tak sadar bahwa Ia berdiri di tempat yang kurang strategis, sehingga tak dapat dihindarkan pula saat mobil Kijang melaju cepat kearahnya.

BRAKK !

Shilla menoleh. Dan saat itu juga Ia sadar, mimpi buruknya akan segera berakhir.

-TAMAT-

copy: Mee Chimeth Chimeth

Dan Ternyata Cinta...(Cerpen)

Dan Ternyata Cinta tak harus ditujukan untuk yang terkasih kan ? tapi juga untuk yang mengasihi..

Namaku Larissa Saffana Arif. Kalian bisa memanggilku Acha. Aku seorang gadis remaja yang baru menginjak bangku 2 SMA.  Di masa putih Abu-Abu yang (katanya) merupakan masa terindah dalam periode-remaja-menuju-masa-dewasa. Karena di masa ini, seseorang akan lebih mendalami segala masalah yang mereka hadapi. Entah itu masalah keluarga, persahabatan, dan..cinta.

Cinta ? apa itu cinta ? makanan jenis apa ?
Hey aku tak becanda. Aku benar-benar belum mengerti, belum merasakan, belum mengetahui segala tentang cinta. Sejak dulu, aku biasa saja jika bertemu dengan mahkluk Adam. Tak ada rasa khusus yang bergetar-getar di ulu hatiku.

Tak ada.

Jangan bilang aku mengalami keterlambatan masa puber! Aku gak suka  dikatai begitu. Meski banyak teman-teman perempuanku yang bilang begitu. Idih, mentang-mentang mereka sudah punya gandengan.

Tapi aku tak peduli. Menurutku jomblo itu bukan sesuatu yang memalukan. Jomblo bukan berarti gak laku kan ? jomblo hanyalah masalah waktu.

Yap! Masalah waktu. Hingga menunggu waktu yang tepat kapan Makhluk Adam yang tepat datang dan menggetarkan rasa-tak-dapat-diterka disini, di dadaku.

Aku tak mengerti, tapi saat waktu itu tiba, aku benar-benar merasakan sesuatu yang kusebut tadi. Rasa-tak-dapat-diterka.

Saat melihatnya. Bukan, bukan cinta pada pandangan pertama atau apalah itu istilahnya. Tapi, saat melihatnya-untuk-kali-pertama. Aku menemukan pribadi lain dalam dirinya. Yang berbeda..

*

“Anak-anak, kita kedatangan murid baru dari Palu. Hey, ngapain kamu tetep disitu ? ayo masuk” Bu Ira, kepala sekolah sekaligus guru Matematika menegur seseorang yang malah, asik berdiri didepan kelas.

Terdengar derap kaki yang makin keras seiring dekatnya lokasi si empunya kaki. Hingga Ia berhenti tepat di sebelah Bu Ira.

Membelalakkan mataku yang lebar, itulah reaksi pertama saat aku melihatnya. Seorang siswa bertubuh tinggi proposional dengan gaya yang..bisa kubilang keren. Maksudnya, dia bahkan tak mencoba memasukkan ujung seragamnya yang keluar tanpa aturan. Padahal kan disampingnya jelas-jelas ada Bu Ira.

Dan benar saja, baru kupikirkan masalah kerapiannya. 5 detik berselang, Bu Ira berdehem.
“Rapikan seragam kamu. Pakai dasi. Dan setelah itu, perkenalkan diri kamu”

Ia hanya mengangguk cuek. Tanpa memandang Bu Ira. Kulihat Ia hanya melipat ujung seragamnya kedalam. Catat, MELIPAT. Bukan MEMASUKKAN.
“Sudah ?” teliti Bu Ira. Lagi-lagi Ia hanya mengangguk. Ck, rada gregetan aku. Tampaknya suaranya begitu mahal ya ?

“Oke, kalau begitu perkenalkan diri kamu. Asal sekolah kamu. Dan..alasan kamu pindah kesini” perintah Bu Ira.

Ini saat yang kutunggu, jujur aku penasaran. Seberapa bagus sih suaranya yang hampir 10 menit didepan kelas, tak kunjung juga kudengar suaranya ?

“Gue Alvin. Alvin Jonathan. Pindahan dari SMA…” Ia menyebutkan nama sekolahnya terdahulu. “..gue pindah kesini karna ikut bokap”

Gue ? bokap ? harus aku akui Ia cukup..belagu mungkin. Dimulai dari penampilan dan gaya yang semaunya. Dan sekarang, perkenalan pun harus menggunakan bahasa pergaulan seperti itu ? aku saja yang sejak bayi tinggal di Jakarta, belum terbiasa menggunakan kata ‘gue-lo’.

“Oia, Alvin ini setahun lebih tua dari kalian. Karena Ia berhenti sekolah setahun. Dan baru melanjutkan kelas 2 pada tahun ini. Ibu harap, kalian semua bisa berteman baik” bimbing Bu Ira.

Koreksi aku jika aku salah dengar. Benarkah ? Alvin setahun lebih tua dari kami ? haruskah kami memanggilnya kakak ? pantas saja tubuhnya terlihat lebih besar dari kebanyakan cowo dikelasku.

Bu Ira berpesan pada Alvin untuk memilih sendiri tempat duduknya. Dan setelah itu, kepala sekolah kami pun melenggang keluar kelas.

Si Murid Baru itu melangkah melewati jalan disela-sela meja. Melewati barisanku. Melewati kursiku. Dan..aku bisa dengar suara tas ransel yang dibanting asal diatas meja. Oh God, jangan-jangan Ia duduk tepat dibelakangku.

“Eh, Pon pinjem penggaris dong!” teriakku pada Nyopon yang duduk di meja pada barisan yang sama denganku. Aku berpura-pura. Hanya untuk menoleh sekilas. Memastikan apakah Ia benar-benar duduk di belakangku.

Tuhkan! Aku bisa melihat bayangannya melalui ekor mataku. Yang sepertinya sedang sibuk mengoperasikan ipod di tangannya.

Meja dibelakangku memang sudah 2 minggu ini ditinggal pemiliknya. Si Lintar, yang harus rawat inap akibat Demam Berdarah. Sementara teman sebangkunya, si Daud. Lebih memilih mengungsi bersama Nyopon yang memang, duduk sendiri.

“Cha, gue nyalin PR IPS dong” pinta Ify, karibku yang duduk se-meja denganku .

“Ambil aja di tas” jawabku asal.

Selanjutnya, tak ada yang kukerjakan karena kelas menjadi riuh akibat jam 1-3 yang kosong. Bu winda, guru PKN yang seharusnya mengisi, malah pergi entah kemana. Dan melimpahkan tugas yang tak ada duanya. Membuat otak kami makin kriting.

“Hei, gue Rizky. Boleh gue duduk sama lo ? disini ?” Aku bisa mendengar suara Rizky. Dia adalah ketua kelas di kelas kami. Terkenal ramah dan santun. Aku menoleh sekilas. Rupanya sang ketua kelas sedang mencoba melakukan ‘pendekatan’.

“Gak perlu. Gue pengen duduk sendiri” ketusnya dingin. Sangat dingin. Hingga aku bisa melihat Rizky melipat mukanya hingga masaaam sekali. Baru aku lihat Rizky cemberut. Tentu, siapa sih yang tak geram di begitukan ? sudah dibaik-baiki, eh malah menjawab jutek.

Huh! entah kenapa aku ikut keki. Apa harus se-arogan itu ? mentang-mentang dia senior ? mentang-mentang dia setahun lebih tua ? tapi kan..tak ada gunanya jika sekarangpun Ia berada dikelas kamu. Sekelas dengan kamu. Satu angkatan.

Ya kan ?

Aku rasa, aku mulai tak suka dengan sikapnya yang kelewat..dingin.

*

Aku tak tahu kapan datangnya, yang jelas rumah kosong milik keluarga Obiet yang terletak persis didepan rumahku, kini menampakkan kesibukan. Beberapa nampak sibuk berlalu lalang mengangkat barang-barang rumah tangga. Apakah ini petanda aku akan mendapatkan tetangga baru ?

“Mamaaa..Acha pulang” seperti biasa, aku berkoar heboh setiap sampai di rumah.

Hening.

Kemana Mama ? biasanya beliau rutin mencubit pipiku setiap aku pulang dari sekolah. Tapi kini ? batang hidungnya pun tak nampak.

Aku memutuskan untuk mencari di dapur. Siapa tau saja Mama ada disana.

“Oh, Nyonya lagi ke rumah depan Mba. Lagi kenalan sama tetangga baru” jawab Bik Omah, saat aku bertanya.

Astaga Mama. Begitu tinggikah sosialisme dalam diri Mamaku ? sehingga orang yang baru pindah pun didatanginya hanya sekedar untuk..bertanya mereka pindahan dari mana ?

Eurgh..aku tak pernah tau sikap Mamaku yang –kurasa-berlebihan itu.

“Kata Nyonya, kalo nanti Mba Acha pulang, nyusul aja ke rumah depan” sambung Bibik. Apa ? nyusul ? gak deh makasih. Mending aku ke kamar aja. Tidur siang.

“Gak deh Bik. Aku capek” tolakku yang diiringi dengan kepergianku meninggalkan dapur.

Aku merebahkan diri pada benda persegi panjang empuk yang ditutupi sprei tokoh Putri Duyung, si Little Mermaid.

Ah, hari yang melelahkan.
Baru saja sehari menjadi penghuni baru kelas kami, teman-temanku sudah kompak menjauhinya. Kalian pasti tau kan ? yap! Karena murid baru itu terlalu dingin. Dengan sikapnya yang anti-ber-sosialisasi itu. Tapi bukan berarti tak ada yang mencoba berkomunikasi dengannya. Setelah Rizky, ada Nyopon, Daud, Debo, Septian. Juga dari anak perempuan seperti Zevana, Dea, Keke, Nova. Dari mereka tak ada yang ditanggapi satupun.

Taulah, aku tak akan mencoba mengajaknya berbicara. Karena 1 hal yang paling aku benci, yaitu..tak dianggap.

*

Mama menggoyang-goyangkan pinggulku heboh. Ah, mengganggu tidur siangku saja. Kenapa sih ? dengan ogah-ogahan, mataku terbuka. “Kenapa sih Ma ?”

“Ck, ayo ikut Mama ke rumah tetangga baru itu. Nanti malem mau ngadain selametan rumah baru. Kan sebagai tetangga yang baik, kita wajib bantu” jawab Mama. Heuh, bantu ?

“Dih ngapain sih ? mungkin mereka udah pesen makanan di restoran ato cattering. Dan lagi kan mereka juga punya pembantu. Acha ngantuuuk Ma” elakku, alih-alih tidur lagi, tanganku malah diseret Mama. Memaksaku bangun.

“Mama gak mau denger, kamu harus bangun titik! Ayolah Acha cantik, anak Mama gak boleh males gini” paksa Mama. Ck, siapa sih tetangga baru itu ? penasaran juga aku.

*

Glek. Aku mendegut ludah. Tak mungkin.pertama kalinya aku percaya dengan ungkapan ‘dunia memang sempit’. Ya, aku percaya. Karena saat ini, detik ini. Aku berhadapan dengan seseorang yang sangat ingin aku hindari. Alvin. Oke, Kak Alvin maksudnya. (walaupun Ia sekelas denganku, tapi aku rada sungkan memanggil namanya. Mungkin karena aku tau Ia setahun lebih tua dariku).

Tadi Mamaku memperkenalkanku pada semua penghuni rumah lama Obiet. Seorang wanita berpenampilan modis bernama Tante Agustine. Pria berdasi dengan garis wibawa yang tergurat jelas di wajahnya, bernama Om Lukman. Yang aku yakini, mereka adalah sepasang suami-istri.

Dan, saat Tante Agustine memanggil sebuah nama. Alvin. Catat, aku tak berpikir bahwa Alvin yang dimaksud adalah Alvin Jonathan. Maksudnya, nama Alvin tak hanya tercetak untuk 1 orang saja kan ? jadi aku tenang-tenang saja.

Tapi sekejab berubah. Karena memang, Alvin yang dimaksud adalah si-murid-baru-pangeran-es-yang-dingin-nya-tak-ter-kalah-kan-se-jadag-raya!

“Acha” Aku ulurkan tanganku. Hati ini berdoa, semoga saja Kak Alvin mau menyambut uluran tanganku (mengingat dikelas tadi, saat Zevana berniat menyalami Alvin. Bukannya mendapat sambutan, gadis itu malah ditinggal pergi).

Ya Tuhan, moga saja aku tak dipermalukan.

“Alvin” Yes! Keberuntungan berpihak padaku. Walau sebentar saja Kak Alvin menyalamiku. Tapi aku senang, setidaknya tak harus aku menanggung malu karna dikacangi.

Jadi, berarti apakah ini ? aku..dan..dia ? sekelas ? duduk berdekatan ? dan..bertetangga ?! oh No..!!

*

Bibirku maju entah beberapa senti. Pipiku menggembung mirip balon warna-warni yang dijual seribu limaratus-an/balon yang biasa dijajakan penjual balon di pasar malem.

Ah, aku tak peduli seberapa jelek wajahku saat ini. Aku marah! Bagaimana tidak ? sudah hampir jam 7. Kurang dari 10 menit, gerbang akan ditutup. Dan kalian tau aku sedang ada dimana ? di rumah! Yap! Tepatnya di halaman! Masih di RUMAH!

Mobil Ayahku mogok. Dan dengan sok tau-nya, Ayah berusaha membetulkan sendiri. Mencari tau apa penyebab kerusakan. Ayah, sadarkah bahwa Ayah bukan lulusan Sekolah Teknih Mesin ?

“Yah, cepet dong! Kalo gak panggilin taksi. Acha telat nih” sungutku. Ayah hanya mengangguk sembari menimpali. “Sebentar lagi ya Cha. Nih udah mau bener”

Tuhkan! Aku tak ingin terlambat. Masalahnya, sekolahku termasuk sekolah yang mempunyai kedisiplinan tingkat dewa. Jika ada yang telah semenit saja, tak ada gerbang untukmu! Dan aku tak mau membuang waktuku begitu saja.

“Ck, Mama udah panggilin Montir untuk kesini. Lagian Ayah sok tau. Dan kamu Cha, Taksi kan gak boleh masuk ke perumahan kita. Kalo kamu mau, kamu jalan gih sampe perempatan depan. Disana banyak taksi kayaknya” tiba-tiba Mama menyambung.

Dan tolong, aku harus berjalan 1 kilo lagi hanya untuk mendapatkan taksi ? aaaaa..pagi ini sukses membuat mood ku berantakan!

“Gak mau!” tolakku. Pokoknya gak maaauuu!

Mama nampak berpikir. Lalu kemudian beliau tersenyum saat mendengar deru mesin mobil yang tengah dipanaskan. Aku juga mendengar. Tapi sama sekali tak berniat untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu.

“Kamu bareng Alvin aja ya ?” ceplos Mama. APA ? bisa ulangi lagi ? ini yang paling tak aku sukai dari Mamaku, berlaku semuanya tanpa menunggu jawabanku. Lihat ? mama dengan santainya berjalan keluar gerbang menuju rumah tetangga baru kami. Mama nampak berbicara dengan Kak Alvin. Aku tau pasti Mama sedang memohon agar aku bisa nebeng mobilnya.

Dan hey, Kak Alvin mengangguk ?

“Udah sana, berangkat. Mama udah bilang sama Alvin. Berangkat sama pulang nanti bareng dia. Kalo perlu, untuk seterusnya. Dia gak keberatan kok” terang Mama.

Aku..melongo seketika.

*
Aku tak suka suasana seperti ini. Diam tanpa kata. Padahal aku punya sejuta pertanyaan untuk dikemukakan. Tapi ya…aku tak ingin mendapat respon buruk.

“Umm..Kak, thanks ya tebengannya” walau ragu, kuputuskan untuk membuka mulut. Yeah, setidaknya mengucap terimakasih bukan hal yang haram kan ?

Kak Alvin menoleh sebentar. “Gue baru tau lo satu sekolah sama gue. Kelas 1 ya ?”

Untuk kedua kalinya, aku melongo. Masa sih dia tak tahu kalau aku..sekelas dengannya ?!!.

“Ditanya tuh jawab. Bukan malah cengo” sambungnya. Ih..

“Masa sih Kakak gak tau ? aku kan sekelas sama kakak. Malah, duduk didepan kakak persis” jawabku. Akhirnya.

“Hah ? masa sih ? kok gue gak ngeh ya”

“Yaiyalah, makanya jangan terlalu cuek” gumamku lirih. “Apa lo bilang ?” oh rupanya dia mendengar.

“Heh ? enggak kok. Itu..jalannya sepi” aku mengalihkan.

“Ohya, siapa nama lo ? Icha ?”

“Acha”

“Ehiya Acha. Lo kok panggil gue ‘kak’ sih ? bukannya kita sekelas ya ?” tanyanya. Eh aku tak keliru kan ? dia bertanya padaku ? si-irit-ngomong bertanya padaku ? haha, ada sedikit kebanggaan dalam diriku mengingat sikap dinginnya pada teman-teman sekelasku.

“Iya Kak, soalnya kan Kakak setahun lebih tua dari aku. Eh iya, aku boleh tanya sesuatu gak ?” tanpa bisa kucegah. Aku sudah gatal ingin menanyakan pertanyaan ini.

“tanya apaan ?!” sahutnya galak. “idih galak amat. Gak jadi deh”

“ck, iyaaa Icha, mau tanya apaaa ?” Haha lucu juga saat Kak Alvin melembutkan nada suaranya.

“Kakak kenapa sekolahnya ditunda  setahun ? kan sayang, seharusnya kelas 3. Eh malah kelas 2” kataku ragu. Takut Ia tersinggung.

Kak Alvin menoleh lagi. “Gak kenapa-napa. Cuma males”

Hah ?!!

*
Dan Ternyata Cinta..berawal dari Kebiasaan

Aku tak tahu bagaimana awalnya. Kak Alvin menjadi ‘sopir’ ku setiap hari. Mengantarku ke sekolah. Juga pulang bersamaku. Kami pun menjadi dekat. Bukan dekat dalam konteks ‘pacaran’. Tapi..dekat, dekat ya dekat. Susah menjabarkannya.

2 bulan sudah Kak Alvin muncul dalam hidupku. Membawa warna berbeda.

Kata Mama, Keluarga Om Lukman asli Jakarta. Mereka pindah ke Palu saat kak Alvin kelas 2 SMP. Oh, pantas saja kak Alvin begitu fasih menggunakan ‘gue-lo’.

Aku mulai terbiasa dengan jawaban singkatnya tiap menanggapi kebawelanku. Aku mulai terbiasa dengan segala protesnya saat aku menyuruhnya bangun pagi lewat sms. Aku mulai terbiasa dengan tatapan dingin mata sipitnya.

Kak Alvin pernah berkata “Bisa gak sih, gausah bangun pagi-pagi banget ? lo udah siap-siap, gue masih tidur tau” kala aku menelponnya jam setengah 6 hanya untuk memberi tau bahwa hari itu aku dapat tugas piket, dan aku ingin berangkat lebih awal.

Saat aku memprotes Kak Alvin yang dulu tak sadar bahwa aku teman sekelasnya, Kak Alvin menjawab dengan santai  “Yeah gitu aja ngambek. Habisnya kan selama sekolah, gue duduk dibelakang lo. Yang gue liat itu rambut sama pundak lo. Kecuali kalo muka lo dibelakang, baru gue tau”

Dan haha, lagi-lagi aku dibuat melongo. Argh! Kak Alvin itu..selain cuek juga selalu membuatku gregetan dengan jawaban-jawaban entengnya.

Satu hal lagi yang menjadi kebiasaanku dengannya. Setiap hari aku datang ke rumahnya untuk menanyakan beberapa mata pelajaran yang tak ku mengerti. Biar cuek begitu, kak Alvin termasuk pintar loh. Dan yang membuatku tambah kagum padanya, Ia tampak biasa saja. Tak menonjolkan kepintarannya sedikitpun.

Hey, boleh ku koreksi ? tadi aku bilang apa ? kagum ?

Sebentar sebentar..aku ingat! Kata teman-temanku yang-sudah-pernah-jatuh-cinta, ketika kita mulai menyukai orang lain, ada semacam rasa aneh dalam hati kita.

Begini segelintir komentar teman-temanku :

Zevana: “kalo lo suka sama orang, mata lo bakal nyari dia dimanapun lo berada. Karna diem-diem lo ngarepin dimana ada lo, disitu ada dia”

Sivia: “Pas gue suka sama Gabriel sih, gue selalu deg-degan tiap deket dia. Tiap liat senyumnya. Pokoknya, jantung lo jadi gak tenang deh”

Nova: “Cinta ya Cha ? gue bilangin sama lo ya, kalo lo suka sama cowo, itu jangan nancepin perasaan lo terlalu dalem. Karena kalo terlalu cinta, sekalinya lo dikecewain, itu rasanya bakal sakiiiiiit banget. Kaya gue nih. Lintar jahaaaaat!!” (Amuk Nova seraya meremas lenganku) -___-

Keke:”Kalo lo suka sama cowo, lo bakal ngerasa nyaman banget berada deket cowo itu”

Oik : “Lo bakal senyam-senyum gajelas kaya orang gila kalo inget dia”

Dan..
Ify:”Hah ? lo udah jatuh cinta Cha ? yeeey sahabat gue udah puber!!” (sambil memelukku) -__-

Oke, dari semua pendapat narasumber, aku berfikir. Memang, tak peduli dimanapun. Mataku ini selalu mencari sinyal keberadaan kak Alvin. Seperti kata Zevana. Saat aku dekat kak Alvin, jantungku berdegup tak karuan. Lebih cepat dari keadaan normal. Seperti kata Sivia. Iya, aku merasa nyaman. Bahkan sangat nyaman berada dekat kak Alvin, seperti kata Keke. Kala aku mengingatnya pun, aku sering senyam-senyum sendiri. Persis seperti kaya Oik.

Dan astaga, aku baru saja menyimpulkan. Jangan-jangan benar kata Ify, bahwa aku telah jatuh cinta pada sosok Kak Alvin ?

Tapi seperti kata Nova, aku berusaha untuk tak mempedulikan rasaku. Karna aku tak ingin terluka untuk yang pertama kalinya.

*
Dan ternyata cinta..mengukuhkannya menjadi yang terjaga dan kusimpan dalam bingkai tak berkaca, disini..dihatiku..

“Larissa Safanah Arif” panggil Bu Ira. Aduh, mampus aku! argh! Aku selalu menyesalkan kebiasaan kepala sekolahku ini yang hobi mengadakan ulangan. Secara dadakan pula! Siswa dan siswi dipanggil secara acak untuk mengerjakan soal yang tertulis di papan tulis. Tanpa membawa catatan! Yang dibawa ke depan hanyalah secuil rumus tak dimengerti.

Ck, kenapa juga semalam aku malah begadang nonton mega Bollywood ? bukan malah membuka buku ?

Aku menoleh kebelakang. Menatap kak Alvin. Yang ditatap hanya tersenyum. Ck, apa harus aku pasrah ? menatap angka dibawah 6 pada daftar nilai ulangan hari ini ?

“Ayo Larissa, kerjakan soal didepan. Nomor 8” tegas Bu Ira. Ck, kenapa juga harus nomer 8 ? nomer itu berisi soal yang sangat memusingkan. Apa itu limit ? kenapa aku tak mengerjakan nomor 5 saja ? yang –setidaknya-aku mengerti rumus dasarnya.

“Mmm..bu, gimana kalo saya aja yang ngerjain nomer 8 ?” ceplos seseorang. Serentak, semua kepala menoleh padanya. Kak Alvin! “Kenapa harus kamu ? Saya kan menyuruh Larissa”

“Iya, tapi saya ngerasa tertantang buat menyelesaikan soal nomor 8 itu Bu. Bukannya mencoba itu bukan hal yang salah ya Bu ? ayolah, kalo saya salah, saya bakal mundur dan silakan ibu limpahkan soal itu kepada Larissa kembali” terang Kak Alvin.

Aku tertegun. Sebegitukah kak Alvin melindungiku ? ah, jangan Ge-eR dulu Acha. Tiba-tiba kurasakan pipiku bersemu, saat Bu Ira menyetujui tawaran kak Alvin, dan kak Alvin melewati mejaku sambil tersenyum kearahku.

Aku memutar bola mata melihat soal nomor 8 yang coba dikerjakan kak Alvin. Soal apa itu..aku sama sekali tak mengerti..

Limit 3 (2x3+4x-1)
xĂ 5

Takjubnya, kak Alvin begitu lancer menyelesaikannya. Hingga angka terakhir yang merupakan jawaban. Aku bisa lihat ekspresi puas Bu Ira melihat jawaban kak Alvin. Yang kurasa, jawabannya benar.

“Benar. Silakan duduk. Dan untuk Larissa, kamu kerjakan nomor 5” yes! Terima kasih Tuhan! Terima kasih kak Alvin!

Kurasa aku..sudah tau bagaimana rasanya menyukai seseorang..

*

Dan Ternyata Cinta..bermula dari persahabatan

BRAKK!!

Aku terlonjak. Kaget. Selain karena gebrakan meja dari Dea, sang ketua OSIS. Juga karena aku takut dimarahi. Aku benci dibentak.

“Laporan lo salah!! SALAH TOTAL!! BUKAN INI YANG GUE MAU !! GUE KAN UDAH BILANG DI RAPAT MINGGU KEMAREN ACHAA !! LAPORAN KEUANGAN BULAN MARET!! BUKAN APRIL !! LO TUH TELMI BANGET SIH ?!! KALO GA BECUS JADI BENDAHARA OSIS, GAUSAH SOK-SOKAN IKUT ORGANISASI INI !! OON!!” amuk Dea. Aku tau, aku tau aku memang tak becus. Tapi..katakata Dea itu loh, sungguh, aku tak pernah merasa terluka sesakit ini akibat omongan orang lain.

“Maaf. Nanti aku ralat laporannya” suaraku bergetar. Kurasa aku ingin menangis.

Dan parahnya, Dea sepertinya tau. “gausah nangis! Gue benci orang cengeng! Emangnya laporan itu bakal bener dengan sendirinya kalo lo nangis ?!!”

Deg! Aku tak bisa berfikir apa-apa. Aku tak peduli. Aku berlari kencang, keluar ruang OSIS dengan airmata mengalir deras. Tak peduli tatapan aneh anak-anak.

Aku sampai di kelas. Sepi. Maklum lah, sekarang sedang jam istirahat ke-2. Beruntung, karena aku bisa membenamkan wajahku dalam kedua tangan yang dilipat. Dan menangis sepuasnya.

“Acha, lo kenapa ?” suara lembut itu menyapaku. Aku tau itu suara kak Alvin. Aku bisa merasakan tangannya membelai rambutku. Ah bodoh! Aku baru ingat bahwa kak Alvin tak pernah pergi ke kantin atau kemanapun saat jam istirahat.

“Hhh..huhu..hmmfb..” isakku dalam. Hingga mengguguk. Beginilah aku, cengeng.

“Acha, cerita dong..lo kenapa ? ada yang nyakitin lo ? bilang sama gue” tanyanya. Aku hanya menggeleng. Tak lama, suara hening. Sapuan tangannya pun tak lagi kurasakan. Kemana kak Alvin ?

Ah memang Ia tak pernah mempedulikanku. Aku saja yang terlalu kepedean.

Selang 5 menit sebelum bel, aku merasakan ada seseorang yang menarik tanganku hingga aku bangkit. Kak Alvin ?

“Ikut gue. Gue pengen ngomong sesuatu. Tenang aja, jam-nya Pak Joe kosong kok” ujarnya sambil menyeretku keluar kelas. Kami sampai di taman belakang sekolah. Sepi.

“Gue tau apa yang buat lo nangis. Dea kan ?” tanya Kak Alvin yang tiba-tiba membawa ku dihadapannya. Kedua tangannya bersandar di pundakku. “Kok kakak tau ?”

“Iyalah! Kan sebelum istirahat, lo dipanggil Nova ke ruang OSIS. Pas lo nangis, gue langsung cari Nova. Dan tanya ke dia ada apa. Nova jelasin semua ke gue”

Oh iya, aku baru ingat. Nova juga anggota OSIS. Sekretaris I tepatnya. Mungkin tadi Nova ada keperluan dengan Dea tapi Ia menunggu urusanku dengan Dea selesai. Sekilas aku lihat bayangan Nova tengah duduk menunggu didepan ruang OSIS. Jadi tentu saja, Nova mendengar bentakan dea yang tak ada duanya itu.

“Dengerin gue ya Cha” Kak Alvin mengangkat wajahku supaya menatapnya. Perasaanku makin tak karuan. “Gue udah kasih pelajaran ke Dea. Tapi..bukan itu yang utama. Gue pengen lo tegar! Jangan cengeng. Nangis itu wajar kok, kalo lo ngerasa terluka. Tapi janji sama gue, ini untuk yang terakhir”

“Kak..”

“Orang yang cengeng, itu akan dianggap lemah Cha. Karna mereka lebih memilih untuk menangis ketimbang nyelesein masalah. Maaf ya Cha, tapi menurut gue, orang yang lemah itu akan selamanya dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya. Lo gak mau kan dianggep begitu ? kuat bukan berarti berkuasa. Dan berkuasa bukan berarti semena-mena. Dan..Bukan berarti yang kuat bisa seenaknya nindas yang lemah. Mereka yang kuat dan berkuasa, gak bisa bertindak seenaknya aja” sambung kak Alvin.

Aku menunduk.

“Cha, janji ya berubah. Gue gak mau lo cengeng gini. Lo harus tegar. Lo mampu kalo lo mau. Percaya sama gue” lirih kak Alvin. Yang sedetik kemudian, merengkuhku kedalam pelukannya. Mengusap rambutku.

Ah, apakah Ia juga menyukaiku ?

*

Dan ternyata Cinta..bukan mencari sosok yang sempurna. Melainkan kesempurnaan cara kita menyayanginya..

Ya ampun! Bodoh sekali aku ini! Sungguh tak berpikir panjang! Argh!! Mau dibawa kemana mukaku setelah ini, sumpah aku malu sekali! Ingin rasanya kupindah mukaku ke punggung! Aku bahkan tak berani menatap kak Alvin langsung!

Semua gara-gara Ify! Ya, gara-gara Ify. Jadi awalnya, aku asik ber-texting dengannya. Ify yang selama ini penasaran dengan kedekatanku dengan kak Alvin, terus mendorongku untuk bicara jujur ada apa antara aku dengan kak Alvin.

Jujur aku sedikit kesal. Yah habisnya, Ify tak mengerti situasi. Aku kan lelah. Sehabis pulang sekolah, langsung disodori sms borongan dari Ify. Jadi dengan kantuk yang tertahan, aku mengetik balasan untuk Ify. Yang berisi pengakuan.

Begini :

Iyaaaa deh aku ngaku. aku suka sm kak Alvin. Puas km! Ehtapi jgn blg sp2 y! cm km yg tau

Kali ini aku merutuk mataku yang lebih dikuasai rasa kantuk. Yang berakibat fatal! Aku-salah-mengirim-sms! Nama Alvin dan Alyssa-nama depan Ify-yang kebetulan berdekatan, membuat jariku terpeleset dan mengirimkannya ke kak Alvin!

Ya Tuhan..aku ingin menghilang ke dasar bumi. Saat kak Alvin datang ke rumah. Mencariku. Dan kini, kak Alvin menatapku.

“Cha, yang..lo bilang di sms itu beneran ?” tanya kak Alvin. Aduh, harus jawab apa aku!??

“Jujur aja Cha. Ketimbang gue kegeeran” dorong kak Alvin. Aku menarik nafas dalam-dalam. Sudah kepalang basah, lebih baik mengaku sajalah.

“I..iya kak. Aku..aku suka sama..Kakak” akhirnya aku mengakui. Itupun tetap menunduk. Aku merasa pipiku panas sekali. Pasti mukaku sudah seperti kepiting rebus. Mana kak Alvin diam saja lagi. Bagaimana kalau perasaanku bertepuk sebelah tang..

“Haha” ehm, suara itu ? aku cepat-cepat mengangkat wajahku. Kak Alvin ? tengah tertawa ? kenapa ? ada yang lucu ?

“Kenapa ketawa ?” tanyaku. Jangan-jangan Ia menertawakan kebodohanku. Aaaaaa..

Tapi bukan, kak Alvin tak langsung menjawab. Malah membelai ubun-ubunku. Lalu mencubit pipiku. “Acha, gue juga sayang sama lo. Tapi..Cuma sebatas adik. Gak lebih. Lo udah gue anggep sebagai adik gue sendiri”

Mukaku seperti hilang tersedot gravitasi. Aku..terluka.

Tak tahan, aku bertanya.”Kenapa kakak gak suka aku ? kaya aku suka kakak ?”

Alvin hanya tersenyum simpul. “Bukan, bukan karena lo gak pantes untuk disukai. Tapi lebih ke gue. Gue jujur sama lo ya Cha, gue udah punya seseorang. Yang gue simpen dan gue jaga, disini” kak Alvin menunjuk dadanya. Apa ? jadi..Ia sudah punya pacar ? kenapa Kak Alvin tak pernah bercerita ?

“Gue itu tipe cowo yang sangat menjaga yang namanya kesetiaan Cha. Cewe gue aja jauh disana. Di Palu. gue udah pacaran sekitar..kurang 2 lebih tahun. Gue sayang sama dia” tuturnya.

Aku terluka. Sesak nafas. Entahlah, benar kata Nova dulu. Aku menyesal kenapa aku menobatkan kak Alvin sebagai cinta pertamaku. Aku menyesal. Karena ternyata, perasaanku tertancap dalam untuknya. Sehingga saat aku dikecewakan, rasanya sakit sekali.

Kak Alvin merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel. “Dia, dia cewe gue. Namanya Shilla”

Ia menyodorkan ponselnya kepadaku. Berjuta perasaan berkecamuk tak karuan dalam hatiku kala memandang foto yang dijadikan wallpaper itu. Foto seorang gadis cantik. Sangat cantik.

Beuh, pantes kak Alvin setia. Orang ceweknya aja cantik begini. Batinku dalam hati.

“Tiap hari. Entah itu saat sms, pas telpon. Gue selalu ceritain tentang lo ke dia. Gue cerita ke Shilla kalo gue punya adik cewe baru yang bawel, asik, cengeng, rakus, tukang tidur, dan manis. Yang namanya Acha” goda kak Alvin.

Pipiku kembali bersemu. “Aaaa kakak mah, malu-maluin aku itu namanya!!”

Kak Alvin terkekeh. “Hehe, nah gitu dong. Acha yang gue kenal itu Acha yang gue sebutin tadi. Bukan Acha yang langsung jadi pendiem begitu cintanya bertepuk sebelah tangan”

Aku mengerucutkan bibirku. Membuat Kak Alvin (kembali) mencubit pipiku. “Gak selamanya cewe sama cowo yang deket, terikat dalam suatu hubungan bernama ‘pacar’. Kita tetep deket, walaupun gue anggep lo adik. Percaya Cha, suatu saat nanti, lo bakal nemuin cowo yang lebiiih baik dari gue. Gue sayang lo, dek”

Entah kenapa, perkataan kak Alvin memompa semangatku kembali. “Jadi, janji ya kakak gak akan ninggalin aku ? janji ya, kakak gak akan lupain aku ? dan janji..kakak akan selalu anggep aku adik kakak!”

“Iyaaa Acha, Kakak janji” kami mengaitkan kedua kelingking kami.

Dan ternyata cinta..mengajarkanku ikhlas walau aku tak rela

*
Dan ternyata Cinta..tak hanya berpihak pada mereka yang saling memiliki..

Makin hari, aku dan kak Alvin makin dekat. Di kelas, bermain tebak-tebakan berdua. Menemani kak Alvin ke kantin( untuk pertama kalinya Kak Alvin ke kantin kelas saat istirahat). Rutin berangkat dan pulang sekolah bersama (kecuali jika kak Alvin ekskul futsal. Tapi jika aku rapat OSIS, kak Alvin keukeuh menungguiku).

Tak hanya disekolah, tapi juga di rumah. Sore, setiap jam setengah 7 aku datang ke rumahnya. Atau dia yang datang ke rumahku. Untuk belajar bersama, atau sekedar duduk di beranda depan. Terkadang merendamkan kaki di kolam sembari mendengarkan curhatannya tentang kak Shilla. Yang lebih mengasyikkan lagi, saat aku dan Ia bersepeda keliling kompleks.

Aku senang tiap melewatkan waktu bersamanya. Seakan-akan jarum jam berjalan lambat. Walau Ia menganggapku hanya sebatas adik, bukan berarti rasa suka ku sebegitu cepatnya pergi.

Aku masih menyukainya. Ya, tapi untuk kali ini, aku tak berharap apa-apa. Dari ceritanya tentang kak Shilla, aku menyimpulkan bahwa Kak Alvin sungguh-sungguh menyayangi pacarnya itu. Dan aku, tak bisa menjadi pihak ketiga.

“Achaaa !!”  seru Kak Alvin heboh saat aku duduk di beranda sendirian. Aku bisa melihat kak Alvin tengah berlari-lari kecil menuju ke rumahku.

“Kenapa kak ?” aku menyambutnya dengan pertanyaan. “Nih” kak Alvin malah menyodorkan ponselnya.

“Hah ? siapa ?”

“Shilla. Pengen ngomong sama lo” tukas kak Alvin. Hah ? kak Shilla ? jangan-jangan kak Shilla ingin melabrakku karena aku dianggap merebut kak Alvin.

Halo, Acha..tak ada kisah mirip sinetron dalam episode kisah hidupku. Jadi, buang pikiran-sinetron-mu jauh-jauh. Aku menerima ponsel kak Alvin.

“Halo” sapaku kikuk. “Hai, kamu Acha ya” terdengar balasan dari seberang. Suaranya lembut. Pasti orangnya baik, terkaku.

“Hehe iya kak. Ini kak shilla ya ?” garing. Bodoh. Aku merutuk dalam hati. Sudah jelas-jelas Shilla, kenapa harus tanya lagi ? errrrr -__-

“Alvin cerita banyak banget tentang kamu Cha. Hihi, Alvin juga kirimin foto kalian berdua via email ke aku” kata kak Shilla. Aku terlongong. “Hah ? foto ? foto yang mana kak ?”

“Itu loh, foto di taman kota. Ekspresi kesakitan kamu itu loh, kaya beneran. Haha aku ketawa liatnya” benar, aku mendengar kak Shilla tertawa halus di seberang.

Tapi tunggu, foto di taman kota ? astaga..jangan-jangan, foto saat aku dan kak Alvin bersepeda kesana. Dan tanpa sengaja, kak Alvin menabrak batu kecil yang membuat sepeda oleng. Sepeda jatuh dan menibani kaki dan pinggangku. Lalu kak Alvin mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Dan berkata “Liay kedepan Cha”

Jepret!

Aku tertangkap kamera dengan ekspresi tak terpatahkan, yaitu meringis menahan sakit. Aaaaa kak Alviiin!

Huh, bisa-bisanya tadi kak Shilla bilang ekspresi kesakitanku seperti nyata ? jelas-jelas itu nyata!
“Hei, kamu masih disana ?” tegur kak Shilla. Aku tersentak. “Hehe masih kak. Oia kak Shilla kapan ke Jakarta ?”

“Mmm..kapan ya ? gak tau nih Cha. Aku sih pengen kesana. Tapi kan sebentar lagi ujian akhir. Mungkin setelah ujian kali ya. Lagian aku gak bisa lama-lama gak ketemu Alvin” oke..yayaya, aku mengerti. Ada sedikit rasa cemburu menyodokku. Tapi tak apalah, lagipula siapa aku ?

“aku juga pengen ketemu sama kamu Cha. Penasaran. Kata Alvin kamu tuh asik, cantik, manis. Haha jangan-jangan nanti Alvin kepincut sama kamu” ledek Kak shilla. Mengingat aku menyukai kak Alvin, ada semacam rasa aneh saat mendengar ledekan kak Shilla tadi.

“Walah ya gak mungkin lah kak. Aku sama kak Alvin kan udah kaya kakak-adik. Ya kan kak ?” aku beralih ke kak Alvin. Yang ditanya hanya mengacungkan jempol.

“Cha, jaga Alvin untuk aku ya. Kita emang belum pernah ketemu. Tapi gak tau kenapa aku yakin banget kalo kamu baik. Hehe” pesan kak Shilla.

“Oke kak, jaga kak Alvin mah kecil. Nanti bakal aku pites cewe-cewe yang kegatelan sama kak Alvin. Tapi kalo kak Alvin yang keganjenan sama cewe duluan, bakal aku aduin langsung sama kak Shilla. Hehe” tegasku. Membuat kak Alvin melotot. Tapi tetap saja terlihat sipit.

“Eh udah dulu ya Cha” Kak Shilla mengakhiri. “Eh iya kak”

Tuuuutt..
Aku mengembalikan ponsel kak Alvin pada si empunya.

“Ternyata bener ya kak, kak Shilla emang baik. Ramah lagi. Kalo gitu aku ngerestuin kakak sama kak Shilla!” ceplosku.

Kak Alvin tertawa.lalu mencubit pipiku (hobi sekali dia mencubit pipiku). “Iyaaa deh, makasih restunya. Nanti aku cariin kamu cowo juga. Biar kapan-kapan kita bisa double date. Haha”

“Aaaaah kakak!”

*
Dan ternyata Cinta..mampu mengikis ketegarannya..

“Gimana ya Cha…” tanya kak Alvin datar. Jarinya mengetuk-ngetuk meja kelas sehingga menimbulkan bunyi ‘tuk..tuk’. aku bingung. Untung saja jam pelajaran Bu Ira kosong. Aku duduk di meja kak Alvin.

Jujur, aku tak pernah melihatnya selemah ini. Maksudku, tak ada tatapan dingin yang memperkuat karakternya. Tak ada ucapan sederhana namun bermakna yang mencirikan kak Alvin. Yang kulihat sekarang, adalah seorang lelaki yang rapuh. Tatapan matanya sedih. Sudah kuhitung berapa kali kak Alvin berkata : ‘Gimana ya Cha’

Semua berawal dari kesalahpahaman antara kak Alvin dan kak Shilla dua hari yang lalu. Jadi waktu itu kak Alvin hendak menelpon kak shilla. Tapi suara yang mengangkatnya bukan suara kak Shilla melainkan suara laki-laki. Yang menurut kak Alvin, kak Shilla tak punya saudara laki-laki. Jadi, suara siapakah itu ?

Menurutku tak salah kak Alvin berkeyakinan bahwa si-penjawab-telpon-itu-adalah-selingkuhan-kekasih-nya.

Setengah jam kemudian, kak Shilla balik menghubungi kak Alvin. Mereka terlibat adu mulut yang cukup hebat (karena kak Alvin mengungsi ke rumahku untuk bercerita tentang kesalahpahaman itu. Dan otomatis, aku mendengar debat tak langsung antara mereka berdua).
Keduanya punya pendapat masing-masing. Kata kak Alvin, pacarnya itu bilang bahwa suara laki-laki ditelpon adalah suara milik sepupunya yang datang dari Manado. Tapi sepengetahuan kak Alvin, Shilla tak pernah cerita bahwa Ia punya sepupu di Manado sana. Dan Shilla berpendapat, tak semua hal tentangnya (harus) diceritakan ke Alvin.

Entahlah. Aku bingung sendiri. Aku tak tau bagaimana kelanjutannya. Karena Kak shilla menutup telponnya secara sepihak saat kak Alvin mulai menggunakan nada tinggi dalam ucapannya.

Lalu hingga kini. Dua hari kemudian, tak ada kabar lagi. Kak Alvin ingin meminta maaf, tapi bagaimana caranya ? sms, telpon, BBM, YM, twitter, email. Semua tak direspon.

Itulah sebab kegalauan kak Alvin. Diam-diam aku merasa takjub dengan rasa bernama ‘Cinta’. Hebat ya ? cinta itu kan gak terlihat, gak berbau. Ia hanya menempati ruang hati tiap manusia. Tapi kekuatannya maha dahsyat, bisa-bisanya hanya karena cinta, seseorang yang tadinya tegar bisa menjadi rapuh. Seseorang yang tadinya rapuh, bisa menjadi kuat.

Ajaib!

“Gue..gak bisa kehilangan Shilla gitu aja Cha. Gue sayang banget sama dia. Gue gak mau putus” keluhnya. Aku menggigit bibir bawahku. Itu kulakukan jika aku bingung. Sama seperti sekarang.

“Terus..kakak harus gimana dong ?” tanyaku. Pertanyaan bodoh. Seharusnya kak Alvin yang bertanya begitu padaku. Bukan aku yang bertanya padanya.

Kak Alvin membenamkan wajahnya. Sama sepertiku saat aku menangis dulu. Untuk sesaat, kami saling diam. Aku ikut-ikutan membisu. Mungkin kak Alvin sedang berpikir dan butuh waktu untuk berpikir.

detik selanjutnya, kak Alvin mengangkat kepalanya. Dengan wajah yang berseri-seri, dia berkata. “Gimana kalo gue susul ke Palu ? gue harus selesein semuanya, Cha. Gue harus ngelurusin masalah ini sebelum gue kehilangan dia”

Dan ternyata Cinta..memang butuh pengorbanan untuk bisa mencapai manisnya

*
Dan ternyata Cinta..berpihak pada mereka yang benar-benar tulus mencintai

Keputusan kak Alvin sudah mantap. Maka hari ini, aku mengantarnya ke Bandara. Menggunakan taksi. Untung saja hari ini kami-kelas 2- libur 5 hari karena kelas 3 sedang ujian. Kak shilla pun sedang berkutat dengan kertas ujian dan pensil 2B. tapi kak Alvin bilang bahwa Ia akan mengajak kak Shilla bicara nanti, setelah ujian selesai.

“nanti kakak tinggal dimana ?” tanyaku polos. Kurang dari setengah jam lagi kak Alvin berangkat.

“Ada tante gue. dan dirumah dia-lah gue tinggal sementara” jawabnya. Kak Alvin mencubit pipiku, lalu tanpa kuduga, memelukku. “Doain gue ya Cha. lo pasti bingung ya, kenapa hanya demi masalah sepele, gue rela terbang ke Palu ? gue gak bisa jelasin ke lo. Suatu saat, jika lo mencintai seseorang. Lo akan mengorbankan apapun hanya untuk bersamanya. Tetap bersamanya”

Aku ingin menangis. Entah karena apa. Kata-kata kak Alvin yang begitu..dalam mungkin.

“Gue masuk sekarang ya Cha. jaga diri lo. Nanti, gue bawain oleh-oleh dari Palu” janjinya.

“Oleh-olehnya apa kak ?” mataku berbinar-binar jika menyangkut oleh-oleh. Hihi..

“Cowo” sahut kak Alvin santai. “aaaaaah kakak!!”

*

Dan ternyata Cinta..mengajarkanku untuk senantiasa memaafkan walau aku terluka

Aku memandang keluar jendela. Diluar gerimis. Percik-percik air yang tak hentinya mengguyur pertiwi sudah sejak pagi tadi.

Aku menatap kalender di meja belajarku. Sudah hari keempat. Tapi kak Alvin tak memberi kabar. Padahal sebelumnya Ia berjanji akan rutin memberiku kabar.

Drrtt..drrtt..
Ponselku bergetar halus. Tanda ada pesan masuk. Secepatnya aku raih ponsel diatas meja belajar. Aku berharap itu dari kak Alvin. Dengan semangat aku membukanya.

yaaah..

Bukan dari kak Alvin ternyata -__-
Melainkan dari..ck, siapa ini ? nomor asing.

Sender : 086299018xx

Hai, yang sedang membaca sms ini! Salam kenal!
Tersenyumlah :D aku yakin senyummu semanis madu tawon unggulan.

Wahaha, aku tertawa terpingkal-pingkal. Isi sms itu lho, astaga..gombal sekali. Haha, siapa ini ? ah tapi aku tak suka ber-sms dengan orang asing. Jadi kuputuskan untuk tak membalasnya.

Keesokan harinya.

Aku dibuat tersentak saat ponselku bergetar pelan. Ah membuyarkan lamunanku saja.

Sender : kak Alvin_mabigbro_

Cha, bisa jemput gue gak ?

Tentu saja bisa! Aku mengetik balasan secara kilat. ‘Oke’ hanya itu. Lalu aku berganti pakaian dan mencari taksi. Aku tak sabar menunggu kabar dari kak Alvin.

Leherku terjulur-julur bagai jerapah. Mencari sosok kak Alvin. Ah kemana dia ?

“Hei” seseorang menepuk pundakku dari belakang. Sontak aku menoleh. “Kak Alvin!”

Aku memeluknya. Dan hey, kurasa aku mulai menganggapnya sebagai kakak. Tak lebih.

“Hehe, kangen ya sama gue” terka kak Alvin. Aku mencibir, namun harus kuakui itu benar.

“Kak, gim…”

“Sssst! Pulang dulu. Nanti gue ceritain semua ke lo” sela kak Alvin. Oke, mari kita pulang. Karena aku benar-benar tak sabar mendengar ceritanya.

Sampai di perumahan, Kak Alvin tak langsung pulang ke rumah. Melainkan duduk di beranda rumahku.

“Jadi ?” tanyaku.

Kak Alvin menghela nafas. “Kami putus Cha”

Mata besarku membulat. “Apa ? putus ?”

Kak Alvin mengangguk. “Cinta itu gak bisa dipaksain Cha. kalo dipaksa, itu bakal bikin hubungan yang terjalin gak sehat”

“Tapi kenapa ? apa karena kak Shilla sel..”aku tak sampai hati melanjutkan ucapanku. Kak Alvin hanya tersenyum tipis. “Bukan itu alesannya. Selama disana, aku ngomong sama dia. Panjang, ternyata dia gak tahan ngejalanin hubungan jarak jauh. Dia manja Cha. dia butuh cowo yang bener-bener ada disampingnya. Bukan jauh kaya aku”

“Tapi kan itu konsekuensi kak!” protesku. Entah kenapa aku emosi. Egois sekali kak shilla itu.

“Iya sih. Tapi kaya yang aku bilang tadi. Segala yang dipaksain itu gak akan baik Cha. aku gak bisa mengutamakan kepentinganku aja. Karna dalam hal ini, ada dua orang, dua hati, dua rasa, dan dua kepentingan. Yang mana yang harus didahuluin, itu tergantung kita nya”

Kak Alvin menyambung. “Lagian, Shilla punya rencana buat kuliah di Singapore. Dia pengen konsen sama pendidikan dulu. Katanya. Aku gak bisa halangi cita-citanya Cha”

“terus, kak Alvin ngalah gitu ?”

“Yah, mau gimana lagi ? mengalah bukan berarti kalah kok Cha. aku ngalah karena aku mentingin cita-citanya. Semua orang berhak kok punya pilihan. Hidup itu pilihan dan dipilih. Apa yang kita pilih, gak selalu memilih kita balik. Dan yang memilih kita, belum tentu pas di hati. Walaupun pahit, tapi aku rela kalo akhirnya begini” terang kak Alvin. Senyumnya tak pernah pupus sepanjang Ia bercerita.

“Dan lagi, kalo jodoh, gak akan kemana kan ?” lanjutnya, sembari merangkulku.

“Iya, tapi kalo gak jodoh ?”

“Kalo gak jodoh, aku pacarin kamu! Hehe” goda kak Alvin. “Idih ogah! Masa aku pacaran sama orang yang aku anggep kakak aku sendiri”

“Yee sok jual mahal nih yee” balas kak Alvin.

“eh kak, dulu kan aku pernah janji sama kakak untuk gak cengeng lagi. Sekarang, kakak mau gak janji sama aku ?” tawarku. “Janji apa ?”

“Kakak harus janji, jangan karena ditinggal kak Shilla, kakak terus sedih. Kakak harus tetep jadi kak Alvin-nya Acha yang dingin, cuek, tapi perhatian. Janji ya ?” Aku mengacungkan kelingkingku didepan mukanya. Kak Alvin terkekeh. Lalu mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku. “Janji”

“Eh Cha, aku pengen ajak kamu jalan-jalan. Tapi kan kamu bau belum mandi. Mandi dulu gih. Ganti baju, dandan yang cantik. Biar aku gak malu bawa kamu jalan” ejek kak Alvin sembari mengacak-acak rambutku.

“Iiih kakak! Kak Alvin tuh yang bau!” cibirku. Pura-pura cemberut.

“Yee jangan ngambek dong. Sesame belum mandi dilarang ngatain. Haha, yuk jalan sekarang. Tapi ke rumahku dulu, ambil mobil” ajak kak Alvin. Ia merangkulku paksa.

“Kak Alvin alusan dikit kenapa sih ?! katanya aku ini adik kakak!” protesku saat tangannya terlalu kuat merangkulku. Kami berjalan menuju rumah kak Alvin.

“Udah jangan protes! Marah-marah mulu, nanti cepet tua loh!”

“Idih, emang kita mau kemana kak ?”

“Ke pasar malem. Aku mau beliin adikku yang cantik ini sekarung arum manis”

“Beneran kak ? yey makasih !!”

“Eh aku baru inget, aku juga bawain kamu oleh-oleh loh”

Aku mendelik. “Apa ?”

“Cowo”

“Ih”

“beneran. Jadi pas di Palu, aku punya tetangga. Seumuran sama kamu juga. Namanya Ozy. Lucu deh anaknya. Asik. Aku udah kasih nomer kamu ke dia. Aku suruh aja dia sms kamu. Dia udah sms ?” tanya kak Alvin.

Sebentar sebentar, jika yang dimaksud kak Alvin itu..jangan-jangan..segera aku merogoh ponsel di saku. Lalu kusodorkan sms tempo hari pada kak Alvin. “Ini bukan nomernya ?”

Dan, benar saja. Kak Alvin langsung tertawa saat membaca sms itu. “Hahaiya bener! Ini Ozy banget! Ecieee adikku udah ada gebetan nih yeee”

“Ih kakak apaan sih” pipiku bersemu.

“Haha”

Tanpa bisa kucegah, aku turut tertawa bersama kak Alvin. Aku berharap, kisah antara aku dengannya tak pernah berakhir sampai disini. Ia tetap terukir sebagai cinta pertamaku. Tapi, namanya lebih abadi terpatri sebagai sahabat, sekaligus kakak yang selalu melindungiku.

Dan ternyata Cinta..adalah sebuah kisah sederhana tentang siapa yang mencintai dan siapa yang dicintai

-The End-


copy: Mee Chimeth Chimeth

Bukan Kisah Upik Abu (Cerpen)

Kisahnya bukan kisah Upik Abu, yang scenario nya telah diatur sutradara berbakat..

12 tahun silam..

Bocah kecil itu menyeret langkahnya malas. Bibirnya mengerucut. Matanya sembab dan hidungnya merah. Menandakan Ia habis menangis. Belum lagi kuncir kuda yang bergoyang seiring langkah kakinya.  Gadis kecil tersebut tengah memeluk boneka pandanya.

“Cilla gak mau main lagi cama Lio. Lio nyebeliiin..!!” rengek gadis itu disela-sela langkahnya. Tak jauh, seorang bocah lelaki yang nampak seumuran dengannya, terlihat berlari mengejar.

“Cilla, Cilla maapin Rio..” seru bocah lelaki itu. Tapi gadis yang dipanggil ‘Cilla’ tak menghiraukan sama sekali. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak. Rio menambah kecepatan larinya. Hingga tangan kecilnya bisa menjangkau tangan sahabat perempuannya.

“Iiih..lepasin Cilla!! Jangan pegang-pegang!! Lio jahaaat, Lio lebih milih main sama Oji. Lio udah lupaa sama Cilla!! Lio jeleeek!!” rengekan gadis itu makin keras. Tak mau tangis perempuan didepannya makin keras, segera Rio tarik sahabatnya itu masuk kedalam pelukannya. Pelukan bocah, yang mungkin..pelukan persahabatan.

“Cilla jangan bilang gitu dong. Rio gak lupa sama Cilla kok. Rio sayang sama Cilla. Rio janji deh gak akan jauh-jauh dari Cilla” janjinya. Rio melepas pelukannya. Gadis itu masih terisak.

“Ja..janji ?” gadis yang sebenarnya bernama Shilla itu, menunjukkan kelingkingnya. “Janji” disambut oleh kelingking Rio.

Ah, kisah persahabatan yang manis. Bukan ?

*
9 tahun yang lalu..

“Ayoo..Ayoo Rio!! Masa Cuma gitu doang, kejar aku!!” teriak Shilla sembari berlari-lari kecil. Dibelakangnya, Rio nampak tak bersemangat. Nilai 5,5 di ulangan Matematika membuatnya badmood.

“Ogah ah, males” ketusnya singkat. Shilla tak peduli. Gadis kecil itu tetap berlari memasuki kompleks perumahan tempat tinggal mereka.

Ck, jam berapa ini ? matahari sedang tegak-tegaknya. Dan Shilla mengajaknya berlari ?, keluh Rio. Jujur, hanya satu yang ingin Rio lakukan sepulang sekolah, tidur. Memulihkan moodnya.

“aduh!! Huwaaaa…” seseorang memekik kesakitan. Dan Rio paham itu suara Shilla. Secepatnya Ia hampiri sahabat kecilnya itu.

Shilla terduduk. Gadis itu menutupi lututnya dengan rok merah-seragam SD-yang dikenakannya. Rio membungkuk. “Pasti kamu jatoh”

Shilla mengangguk.

“Sini, biar aku liat” Rio membujuk Shilla untuk memperlihatkan lututnya. Dan benar saja, lututnya berdarah.

“Makanya jangan lari-lari. Udah sini, Rio gendong. Ntar sampe rumah tinggal diobatin” Rio menawarkan punggungnya untuk Shilla. Gadis itupun menurut.

Persahabatan, hanya sedikit perhatian. Namun tetap terasa manis.

*
3 tahun yang lalu..

Teman berbeda dengan sahabat. Karena, teman datang padamu karena satu suka. Tapi, sahabat setia denganmu untuk sejuta duka.

“Shill..”

“Rio..aku..aku gak kuat Yo. Aku pengen nyusul Bunda..” lirih Shilla. Pandangan gadis itu mengabur. Melihat semua orang disekelilingnya mengenakan pakaian gelap. Mereka yang datang, turut menabur duka atas kepergian sang Ibunda selama-lamanya.

Rio sendiri tak tahan dengan keadaan ini. Shilla yang didekatnya bukan Shilla yang Ia kenal. Bukan Shilla yang ceria, Shilla yang bawel. Tapi..Shilla yang rapuh. Laki-laki itu merengkuh pundak Shilla kedalam pelukannya. Bermaksud memberi tempat bersandar setidaknya, untuk sementara. Agar sahabatnya itu sedikit lebih tegar.

“Shill, kamu gak sendirian kok. Kan masih ada Ayah. Masih ada aku, Mamaku, Papaku yang udah anggep kamu keluarga. Inget, kita tetanggaan sejak bayi. Aku sahabatmu dan akan selalu ada buat kamu. Jadi, kamu jangan pernah anggep diri kamu hidup sendiri. Oke ?” terang Rio.

Shilla mendongak. “Tapi Yo..aku..aku gak akan bisa tanpa Bunda”

Rio tersenyum tipis. “Lama-lama juga kamu terbiasa. Jangan terlalu dalem bersedih. Karna itu bakal nyiksa kamu sendiri. Tegar Shill. Aku ada disini”

“Makasih..Yo” sahut Shilla. Yang seterusnya Ia yakini, hari-harinya akan dilalui bersama Rio. Sahabatnya.

*
 1 tahun yang lalu…

Percayalah, tidak ada ujian seberat godam raksasa yang terlalu lama menimpamu..

Rio rada terkejut melihat ‘penampakan’ Shilla sepagi ini didepan beranda depan rumahnya. Tumben, ada apa ?

“Kenapa Shill ?” Rio mendudukan dirinya disamping Shilla. Shilla menoleh, menatap Rio lemah. Lalu menyerahkan sepucuk undangan padanya. Laki-laki tersebut mengangkat satu alisnya. “Ayah kamu..”

“Ayahku nikah lagi. Sama sekretarisnya. Tante Dewi namanya” sela Shilla. Rio masih belum mengerti. Pasti Shilla shock akibat berita ini.

“Tante Dewi itu..janda atau..per..”

“Janda 2 anak. Dua-duanya perempuan. Yang pertama seumuran sama aku. Yang kedua setahun lebih muda dari aku. Mereka..Sivia sama Oik”

“Kamu..udah ketemu sama mereka ?” tanya Rio. Lagi.

Shilla mengangguk. “semalem Ayah nemuin aku sama mereka. Aku kira..Ayah ngajakin aku malam malem berdua. Tapi  ternyata, ada mereka”

“Shill..”

“Aku sakit Yo..pas Ayah bilang bahwa itu calon keluarga baru aku. Kita. Aku gak mau punya ibu tiri. Belum lagi 2 sodara perempuan. Aku..aku gak mau kisahku kaya kisah Upik Abu” terang Shilla.

Rio mengikik. “Shilla..Shilla..pikiran kamu tuh ada-ada aja. Gak semua ibu tiri itu jahat. Kamu tau ? kesan jahatnya ibu tiri itu diciptain sama..sutradara yang pengen ceritanya lebih seru. Dikehidupan nyata, kecil kemungkinan ibu tiri jahat. Dan 2 sodara ? jangan anggep mereka beban. Anggep mereka teman-teman kamu. Setelah itu, pasti kamu bisa terima mereka”

“Entahlah Yo, aku belum yakin”

“Yakin atau gak yakin, undangan udah tercetak dan siap disebar. Denger ya Shill, kamu dan Ayah kamu gak bisa selamanya hidup hanya berdua. Pasti Ayah kamu juga membutuhkan pengganti Bunda untuk merawat kamu. Mengurus semuanya. Ayah kamu gak egois kok. Aku percaya, beliau ngelakuin ini untuk dan hanya demi kamu. dan kalo aku aja percaya, kamu juga harus percaya. Ayah kamu udah cariin yang terbaik dari yang terbaik untuk gantiin posisi Bunda kamu” jelas Rio sambil menepuk pundak Rio.

“Bener ? apa yang kamu bilang itu bener ?” Shilla memastikan. Rio mengangguk mantap. “Gak akan ada kisah Upik Abu dalam hidup kamu”

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tak ada kekasih hati, hanya sahabat sejati yang setia menemani..


“Gak akan ada kisah Upik Abu dalam hidup kamu”

Kata-kata itu terus berputar dalam otak Shilla. Kata-kata yang Rio ucapkan setahun yang lalu. Ternyata hanya ucapan untuk memompa semangatnya. Memang terkadang kenyataan, semua tak seperti yang diucapkan. Tak seperti yang diharapkan.

Gadis itu masih menutup matanya. Enggan membuka matanya dan bangun dari mimpi indahnya mengenang masa-masa kecil bersama Rio. Masa dimana Tuhan belum menimpakan ujian padanya.
Shilla enggan membuka matanya. Gadis itu enggan kembali kedalam dunia nyata yang begitu keras baginya. Keras. Hidup yang keras. Shilla ingat, dulu kala Bundanya masih hidup, beliau sering mengajarkannya untuk memahami hidup. Bahwa roda kehidupan senantiasa berputar. Nasib seseorang yang tak menentu. Kata Bunda, Shilla harus selalu siap bila masa-masa sulitnya datang.

Tapi tolong, Shilla tak pernah menyangka akan seberat ini. Jika tak ada Ayah dan Rio, mungkin gadis itu lebih memilih menggantung lehernya di pohon beringin. Atau..terjun bebas dari atap gedung perusahaan milik Ayahnya.

Karena pada nyatanya, kisahnya benar-benar nyaris mirip Upik Abu..

BYUUURR!!

“Banguuun babu!! Udah jam berapa sekarang ?!!!” oke, tampaknya drama ‘Upik Abu’ akan segera dimulai.

Teriakan Sivia ditambah guyuran seember air sontak membangunkan Shilla dari tidurnya.

“Mau jadi apa lo ? Males !! lo tau gak ? kerjaan lo tuh banyaaaak!! Sadar dong, bik Omah kan lagi pulang kampung. Yang gantiin siapa ? LO BABU !!”  cerca gadis cantik itu.

Shilla tak bergeming. Jujur, tidur dikamar pembantu saja sudah membuatnya tak nyaman. Apalagi harus mengerjakan tugas pembantu ? Bisa pingsan Shilla.

“Eh, malah bengong ?!! kenapa ? lo gak terima disuruh suruh gue ?!! gue laporin Mama. Ma..!!”

“Mm..bukan. bukan begitu. Aku..aku terima kok. Tapi bentar ya, aku mandi dulu” ucap Shilla santun. Bagaimanapun Ia tak ingin membuat masalah semakin runyam karena Ia membantah perintah Sivia atau menyelipkan kata-kata bernada tinggi.

Gadis berkulit putih itu hanya tersenyum licik. Lalu bergegas meninggalkan kamar (sementara) Shilla.

*
Shilla menghela nafas panjang. Tinggal satu piring lagi yang belum dibilasnya. Gadis itu menyeka keringat di dahi dan pelipisnya.

“Hey” Sebuah kepala menyembul tiba-tiba dari jendela dapur. Membuat gadis itu cukup shock.

“Ck, Rio..kalo aku punya penyakit jantung, pasti aku mati sekarang juga gara-gara kamu kagetin” sungut Shilla. Gadis itu membilas piring terakhirnya. Lalu mengeringkan tangannya .

Yang ditegur hanya cengar-cengir. “Maaf deh. Kaya kamu gak tau kebiasaan aku aja”

Pemuda itu melangkah memasuki dapur. Mensejajarkan tubuhnya disebelah Shilla.

“Disuruh lagi ya ?” tanya Rio sedetik setelah melempar pandangannya kearah tumpukan piring yang baru saja dicuci. Shilla menatap Rio sebentar, lalu membuang pandangannya seraya tersenyum, tanpa berkata apa-apa.
“Kasian sahabatku ini..sabar ya Shill. Kan masih ada aku” hibur Rio. Tangan pemuda itu mengusap-usap punggung Shilla.

“Makasih ya Yo” Rio tersenyum. “eh ada lagi pekerjaan yang belum diselesein ? sini aku bantu. Kita kerjain sama-sama”

Sahabat tak pernah sejengkal pun meninggalkanmu dikala suka dan duka. Ia akan tetap datang, setia menjadi lampu penerang perjalanan hidupmu..

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ia layangkan sejuta tanya. Mengapa semua ini harus terjadi padanya ?

Gadis itu meronta. Airmatanya terkuras oleh kenyataan pahit yang mau tak mau Ia terima. Nafas ketegaran yang ditularkan Rio, tak memberi efek apapun baginya. Ia hanya ingin satu, tolong kembalikan Ayahnya.

Hanya itu..

Karena hanya Ayahnya lah, tempatnya berlindung dari Ibu Tiri dan 2 saudara Tirinya.

“Shill..kita pulang yuk” ajak pemuda disebelahnya. Yang sejak awal pemakaman setia berada disampingnya. Setia menggenggam jemari Shilla. Setia merangkul Shilla. Setia menopang gadis itu agar tidak rapuh.

“Kenapa sih Yo, kenapa Tuhan kasih aku ujian seberat ini ?! aku baru 17 tahun. Dan sekarang harus jadi Yatim Piatu ?! aku gak mau sendirian Yo..” protes gadis itu seraya mengelus batu nisan berukiran nama Ayahandanya.

Rio menunduk. Pemuda itu turut merasakan betapa pedihnya menjadi Shilla. Sang Ayah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya tepat semalam. Penyakit jantungnya kumat. Beliau secepatnya dilarikan ke Rumah Sakit. Namun, takdir berkata lain.

Ya, lagipula..siapa sih yang bisa melawan takdir ?

Rio menarik nafas dalam. Isakan gadis itu makin keras terdengar. Tak tahan, ditariknya Shilla masuk kedalam dekapannya. Sama seperti kala Ia memeluk Shilla kecil dahulu.

“Aku tau ini bukan saat yang tepat untuk ceramah. Tapi aku mohon Shill..jangan merasa diri kamu sendiri.  Kamu masih punya aku. Aku yang selama 17 tahun ada disamping kamu. hapus airmata kamu Shill, plis..jangan nangis lagi” ungkap Rio. Membuat tangis gadis itu bertambah keras.

Entahlah, mungkin saat ini gadis itu sedang mempersiapkan mentalnya untuk menapaki hidup baru yang..akan lebih keras menekannya. Menyudutkannya. Memojokannya. Menyingkirkannya jauh dari titik kebahagiaan.

Tenang, tak perlu khawatir. Ada malaikat pelindung yang dikirim Tuhan khusus, untuk menjaganya.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ketika derita menderu, hanya air mata yang mengiringinya..

Shill, aku gak bisa temenin kamu ke kantin. Ada urusan sama Pak Joe ^_^

Shilla mengetik balasan untuk pesan pendek yang dikirim Rio tepat setelah bel istirahat.

Iya gpp, aku bisa ke kantin sndri kok (:

Saking asiknya berkutat memandangi layar ponsel, gadis itu sampai tak menyadari bahwa ada sebuah bola basket yang melayang kearahnya. Kebetulan sekali tempat berdirinya tepat disamping lapangan basket. Sehingga tak dapat dicegah, bola ‘tak tau diri’ itupun mencium pelipis Shilla. Gadis itu mengaduh. Lalu jatuh terduduk.

“Eh sori sori, lo gapapa ?” tanya seorang pemuda berseragam biru-putih (seragam basket sekolah). Pemuda tersebut nampak khawatir. Sepertinya Ialah oknum pelempar bola itu.

“gak papa kok. Lain kali hati-hati ya” dijawabnya Shilla sembari tersenyum. Pemuda itu membantu Shilla berdiri. “Makasih ya. Sekali lagi sori. Oia gue Cakka. Anak  II IPA I. lo ?”

Melihat pemuda didepannya mengulurkan tangan, refleks Shilla membalas. “Shilla. 3 IPA II”

“Oh berarti kakak kelas gue” tanggap Cakka. Entahlah, pemuda itu nampak terkesima melihat wajah ayu Shilla.

“Woy Cak, buru balik! Mau maen lagi gak ?!” seru sosok lain dalam lapangan basket. Mendengar namanya disebut, Cakka menanggapi hanya dengan anggukan. Pemuda itu lalu menoleh kembali ke Shilla.

“Gue..balik dulu ya”

Shilla mengangguk & tersenyum. Lalu melanjutkan langkahnya ke kantin.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata menatap tak suka.

*

Kantin

Gadis itu mengedarkan pandangannya. Menyapu seluruh penjuru kantin. Ck, akibat insiden bola basket tadi, Ia terlambat ke kantin. Dan berakibat..seperti ini. Kehabisan meja. Tak ada satu bangku pun tersisa. Kantin penuh sesak!

Argh!

Shilla mendesah pelan. Kalau saja tadi pagi Ia sempat sarapan, pasti tak begini jadinya. Gara-gara perintah Mama-nya yang kembali memaksanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah selagi pembantu mereka tak ada. Karena itulah Shilla bangun jam 3 dini hari. Menyapu, mengepel rumah yang notabene tak kecil. Dan baru selesai jam 5. Setengah jam membuat sarapan. Lalu gadis itu mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Tapi naas karena Sivia dan Oik meninggalkannya. Jadilah Ia berangkat menggunakan metromini.

“Ngelamun ?” sapa seseorang tepat di telinganya. Sontak gadis itu tersentak. Seakan-akan suara itu menariknya dari lamunannya.

“Eh, kamu. gak kok. Cuman..” Shilla tak langsung menyelesaikan ucapannya. Ia lebih memilih mengedarkan pandangan kearah kantin.

Pemuda disampingnya membulatkan mulutnya. “Oh, mau makan tapi penuh ?”

Shilla mengangguk.

Tanpa aba-aba, pemuda itu menarik pergelangan tangan Shilla. Memasuki kantin, dan berhenti di meja yang terletak paling pojok.

“Bisa pindah ? gue mau makan disini. Di meja ini!” ucap pemuda itu santai. Tak usah menunggu dibentak, 3 orang siswa yang tengah makan langsung beringsut dan pergi meninggalkan meja ketimbang harus ada masalah dengan anak pemilik yayasan sekolah. Pemuda itu tersenyum puas. “ayo duduk”

Shilla tersenyum sungkan. “Kamu mau makan aja sampe harus ngusir orang segala”

“Bukan aku. Tapi kamu. aku Cuma mau nemenin kamu makan. Udah itu doang. Eh iya, mau pesen apa ? biar aku pesenin. Ntar ak..”

Shilla cepat-cepat menyela. “Ga. Ga perlu. Kamu ga perlu memperlakukan aku se-istimewa ini. Aku bisa tahan laper sampe pulang sekolah kok”

Pemuda itu kembali tersenyum. “Nahan laper ga bagus loh buat kesehatan. Bisa maag. Dan kamu tau itu kan ? ayoo, sekarang makan. Aku bakal duduk disini sampe kamu ngehabisin suapan terakhir makanan kamu”

Jujur, gadis itu merasa dadanya melambung akibat perhatian dari pemuda tampan didepannya. Pemuda yang sudah hampir 3 tahun dikenalnya ini, memang telah menduduki tempat tersendiri di hatinya.

“Sekali lagi makasih ya..Vin”

Segala yang sempurna, ada saja yang tak suka. Saat sepasang mata lain menatap marah kearah mereka berdua. Kearah gadis itu lebih tepatnya. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin saat itu juga Shilla sudah terkapar.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Yang sekali meminta, peri suci datang mengabulkan..

Gadis itu baru saja ber-say-goodbye dengan Rio yang mengantarnya sampai depan gerbang. Saat hentakan tangan keras mengejutkannya. Oh, adik tirinya.

“Kenapa Ik ?” tanya Shilla tanpa prasangka.

Oik menatap Shilla dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan tatapan sinis. “Lo ?! ngaca !! jangan..kegatelan..sama..cowo..gue!”

“Cowo kamu ? siapa ?”

“Gausah sok-sok-an bego!! Tadi lo ngapain tatap-tatapan sama dia ? disamping lapangan basket ?!! lo mau cari perhatian ?!!” bentak Oik.

Shilla menunduk. Diam-diam Ia tengah merapalkan satu nama yang dimaksud Oik.

“Eh, ditanya tuh jawab!! Inget umur woy!! Lo kan udah punya si..siapa itu Rio ?!! gausah kecentilan sama cowo gue! ular lo!”

“Ada apaan nih ?” belum lagi yang satu hilang, muncul lagi lainnya. Sivia baru saja membuka pintu dan langsung disodorkan pemandangan adiknya menggencet Shilla.

Oik melirik Shilla dengan ekor matanya. “Ini nih, Upik Abu kecentilan sama Cakka. Dia kan punya gue. Cuma punya Oik!”

Sivia mengangkat satu alis. “Emangnya..dia ngapain sama Cakka lo ?”

“Upik Abu ini, cari perhatian dengan jalan di koridor samping lapangan basket sambil ngelamun. Terus kena bola. Pura-pura sakit biar dapet perhatian. Kebetulan banget si Cakka yang nyamperin. Jadi yaaah..tepe tepe deh dia” lapor Oik.

Shilla pernah melihat adegan ini sebelumnya. Di sinetron yang beberapa waktu lalu Ia tonton di rumah Rio kala mengerjakan PR bersama. Dimana seorang gadis si pemeran protagonist mendapat tekanan dari saudara-saudaranya yang berperan antagonis.

Hanya 1 permasalahan. Laki-laki..

Sivia maju selangkah mendekati Shilla. “Bukan Cuma masalah Oik yang bikin gue gedeg sama lo! Tapi..Alvin. lo tau kan, sejak kelas 2 gue suka sama dia ?! tapi kehadiran lo selalu mengacaukan semuanya! LO yang KECENTILAN, atau emang ALVIN yang BUTA ?!!”

Shilla beringsut. “Maaf, saya gak punya hubungan apapun sama Alvin atau Cakka. Saya permisi”

Begitulah, gadis itu berbalik menuju dapur, menuju kamarnya. Disana Ia menangis sepuasnya. Tapi tidak, Shilla bukan tipe gadis pendendam yang akan merencakan sejuta cara untuk melumpuhkan lawannya. Tidak.

Ketika tangis Shilla mereda, gadis itu berusaha melengkungkan senyum pada wajahnya. Mencoba berfikir positif, seperti kata Rio.

“Aku gak boleh sedih. Gak..ayolah Shilla. Ini bukan Kisah Upik Abu kan ?! mereka gak sejahat yang kamu kira. Wajarlah mereka marah ke kamu. karna kamu udah deketin pacar-pacar mereka. Haha” tawa kering mengiringi gumaman Shilla pada dirinya sendiri.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Awalnya yang ia lihat adalah cahaya terang. Kini melabur.
Gelap dan menyiksa.

“Kamu habis nangis ?!” tanya Rio saat melihat kantung tebal pada mata Shilla.

Gadis itu tersenyum ringan. “Gak kok”

Rio menghela nafas. “Ini..karena Sivia ? atau Oik ? atau..Mama tiri kamu ?”

Shilla menggeleng. “Aku gak papa Yo. Udah ah, jangan tanya-tanya lagi. Aku mau masuk kelas. Sampe ketemu nanti ya”

Rio menatapi punggung Shilla yang makin menjauh seiring gerak langkahnya. Diam-diam, Rio memendam rasa cinta pada gadis itu. Rasa yang Ia miliki jauh sebelum gadis itu terpuruk seperti sekarang. Rasa yang sudah menguasai dirinya bahkan sejak mereka masih kecil. Rasa yang membuatnya bertahan untuk selalu berada disamping gadis itu.

Tak ada, tak ada alasan lain kecuali..hanya untuk menguatkan Shilla agar Ia tak rapuh.

Rio tak menyangkal bahwa ada sosok lain di hati Shilla. Alvin. Anak Pemilik Yayasan yang sangat berpengaruh disekolah mereka. Populer, banyak gadis yang memuja fisik maupun materinya. Rio pun tau, Alvin mencintai sahabatnya.

Hey, Rio tidak buta. Dia tak kemana-mana 2 tahun belakangan ini. 2 tahun dimana Alvin memberikan perhatiannya pada Shilla. Perhatian berlebih. Walaupun masih kalah jika dibandingkan dengan kesiapsediaan Rio yang selama 17 tahun mengiringi langkah hidup Shilla.

Rio tak mengenal Alvin. Karena itu sama saja menyakiti hatinya. Rio tak pernah sedikitpun mengungkit tentang perasaannya pada Shilla. Kehadiran gadis itu disampingnya sebagai sahabat, sudah lebih dari cukup. Tak munafik, Rio ingin mengukuhkan Shilla sebagai kekasihnya. Tapi, pemuda itu juga tak egois. Ia tahu masalah hati tak bisa dipaksakan. Biarlah gadis itu memilih pangerannya sendiri. Asalkan Rio masih bisa memandang mata beningnya, asalkan Rio masih bisa mendengar tawa renyahnya, asalkan Rio masih bisa menikmati senyum manisnya. Itu sudah sangat membuatnya bahagia.

“Sori, lo Mario kan ?” sapa seseorang. Mengaburkan  lamunan Rio akan gadis itu. Pemuda tersebut menoleh. Dan agak tersentak begitu tau siapa yang menyapanya. “Iya gue Mario”

Alvin tersenyum. “Lo pasti udah tau gue kan ?! mmm..gini Yo, lo itu kan sahabatnya Shilla. Gue pengen minta tolong sama lo. Boleh ?”

“Minta tolong apa ?”

“Gue..minta alamat rumahnya Shilla. Sejak dulu gue minta, dia selalu nolak” pinta Alvin. Rio mendecakkan lidah tak kentara. Bimbang. Ia ingat pesan Shilla, jangan beritahu alamat rumah pada teman-temannya tanpa sepengetahuan Shilla. Rio ingat betul. Mungkin, Shilla tak mau teman-temannya tau kisah hidupnya terkuak.

Tapi kini, Rio harus jawab apa ?
Sejak kematian Ayahandanya, Shilla memang jarang sekali tersenyum. Senyum yang selama ini terukir tak lain hanya sebuah lengkungan tak bermakna yang dibuat si empunya dengan terpaksa hanya untuk menutupi kesedihannya. Atau sebagai penghias wajahnya yang mulai merapuh.

Rio berfikir, jika Alvin datang sendiri ke rumah Shilla, menghibur gadis itu.   Mungkin Rio bisa melihat Shilla yang dulu kembali. Shilla yang ceria dan semangat. Bukan Shilla ala Upik abu yang lemah.

Biarpun cinta, jika memang kebahagiaan Shilla bukan terletak padanya, Rio rela melepas gadis itu. Yang penting Shilla bisa tersenyum.

Semoga keputusannya tak salah.

“Alamatnya di Jalan…” Rio menyebutkan alamat rumah Shilla dengan lengkap.

Ah, andai saja Rio lebih berfikir panjang. Bahwa memberikan alamat tempat tinggal Shilla, malah akan membuat gadis itu makin terperosok dalam penderitaan.

Tapi percayalah, seorang sahabat tak akan mendorongmu kedalam jurang. Yang ada, Ia akan memberikan tangannya padamu, dan mengangkatmu keatas..

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Dengan sabar Ia memintal benang cinta. Berharap ada sang Adam berhati tulus menyambutnya..

“Hey, Shilla”

Shilla mendongak. Meninggalkan pandangan dari buku yang Ia baca. “Cakka ?”

Cakka membuang pandangan kearah bangku disamping Shilla. “Gue duduk situ boleh ? kosong kan ?”

Shilla ikutan menoleh ke kursi sebelahnya. Lalu balik memandang Cakka, sampai akhirnya mengangguk. “Silakan”

“Sendirian aja ?” Cakka ber-basa-basi-ria. Padahal yaah, Ia sendiri tau Shilla sedang sendirian di taman sembari membaca buku..entah apa. Cakka tak mengerti. Buku paket kelas 3 mungkin.

“Aku gak sendiri” tukas Shilla. Satu alis Cakka terangkat. “Sama siapa ?”

“Sama ini” Shilla menunjuk buku tebal ditangannya. “Dan..angin” sambungnya. Bibir Cakka membulat. “Oh, gue kirain sama siapa gitu. Hehe. Eh gak keberatan kan, kalo gue duduk sini ? gak ada yang cemburu kan ?”

Shilla terkekeh. “Gak kok. Nyantai aja”

“Eh, lo baca buku apa ?” tanya Cakka yang –tanpa ijin-menutup halaman yang sedang dibaca Shilla hanya untuk melihat sampul buku. “Yaelah, buku paket. Niat amat belajar pas jam istirahat”

Shilla menoleh kearah pemuda yang setahun lebih muda darinya ini. “Kan persiapan buat Ujian Nasional Cak”

“Iyasih. Tp kan..malah jenuh tau. kalo keseringan belajar. Padahal kan waktunya masih lama. Ntar yang ada, bukannya pinter. Malah stress. Kaya temen SMP gue, pas mau masuk SMA, dia belajar terlalu nafsu. Sampe pas hari H-3, nyawanya ilang separo alias sin-ting” cerocos Cakka.

Shilla tertawa dibuatnya. Cara Cakka bercerita itu loh, begitu..berapi-api.

“Heh kok ketawa ?”

Shilla menggeleng, masih tersisa serpihan tawa di bibirnya. Cakka ikut tersenyum. Ah, cantiknya gadis ini apabila sedang tertawa, batinnya. Tiba-tiba pemuda tersebut mengulurkan tangannya.

“Lo mau gak, jadi temen gue ?” tawar Cakka.

Tawanya berhenti. Shilla memandang Cakka, lalu tersenyum seraya menyalami tangan Cakka yang terulur. “Tanpa harus diminta, kita udah jadi temen kok”

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tak ada peri, tak ada keajaiban, tak ada sepatu kaca. Dan..tak ada kebahagiaan..

“Loh, Alvin ? kamu..kok bisa ?” pekik Shilla  terkejut kala melihat sosok yang sedang berdiri didepan rumahnya sekarang.

Yang ditanya malah tersenyum. “Apa sih yang gak seorang Alvin tau ?”

“Kamu tau dari..Rio ?” terka Shilla. Alvin mengangguk. “Coba dari dulu aku minta alamat kamu sama dia. Pasti sekarang, kita udah..yah..lebih dari temen”

“Maksud kamu ?” Shilla tak bodoh. Ia paham betul maksud ucapan Alvin. Hanya saja, gadis itu memikirkan satu nama. Sivia. Entahlah apa yang terjadi padanya jika..jika saudara tirinya melihat tamu yang datang ke rumah mereka, tamu yang tujuannya untuk menemuinya. Bukan menemui saudara tirinya.

“Kok ngelamun ? aku..boleh masuk ?” pinta Alvin. Shilla melirik jam dinding di ruang tamunya. Setengah jam yang lalu mama dan saudara-saudara tirinya pergi. Entah kemana, shopping mungkin.

“Oh, yaudah. Tapi..sebentar aja ya. Aku..” gadis itu memutar otak. Tak mungkin Ia mengatakan yang sebenarnya bahwa Ia tak punya waktu untuk bermain-main. Oleh karena Mamanya telah melimpahkan pekerjaan rumah seabrek-abrek padanya sebelum pergi.

“kenapa ?”

“Aku..ah, itu..aku mau..mau ngerjain tugas sekolah sama Rio” dusta Shilla.

“Oh, rumahnya Rio dimana emang ?” Alvin penasaran juga. Shilla menunjuk rumah yang terletak tepat disamping kirinya. “Tuh”

“Oh, deket banget ya. Yaudah deh kalo kamu sibuk. Aku pulang ya” pamit Alvin. Sedikit rasa iri menyelip dalam hatinya. Iri pada Rio yang begitu dekat dengan gadis cantik itu. Iri. Rio yang selalu bisa menjaga Shilla tetap dalam pandangannya.

Kenapa bukan dirinya ?

“Maaf ya Vin. Lain waktu, kamu boleh kok main kesini lagi” janji Shilla walau tak yakin. Ucapan itu keluar begitu saja terlebih saat Shilla melihat ekspresi kekecewaan di wajah pemuda didepannya.

Alvin tersenyum kecil. “Iya nyanyai aja. Lagian..aku Cuma pengen tau aja kok. Aku balik dulu ya”

“Eh Vin..” baru saja pemuda itu berbalik. Shilla sudah memanggilnya.

“Ya ? kenapa ?”

Shilla menggigit bibir bawahnya. Tanyakan, atau..tidak ya ?

“Kenapa Shill ?”

“Mmm..kamu..apa kamu..gak ada rasa sama saudara tiriku ? Sivia ?” tanyanya ragu. Shilla merasa butuh kepastian.

Alvin berfikir sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Gak. Kamu tau lah, Cuma kamu yang ada disini” Alvin menunjuk dadanya. Lalu berlalu pergi tanpa menoleh lagi.

Shilla tertegun.

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ia dianggap benalu untuk apa yang seharusnya jadi miliknya..

Kisah cinta yang rumit. 3 lelaki mencintai satu gadis yang sama. Menimbulkan rasa iri tak tertahan oleh kaum hawa disekitarnya. Satu lelaki, yang setia menemaninya selama 17 tahun. Lelaki kedua, yang merupakan cinta pertama-nya sendiri. Yang terakhir, lelaki yang selalu punya cara untuk bisa membuatnya tertawa.

Jika gadis itu mencari aman, mungkin lelaki pertama itu sudah cukup baik untuknya.

“Shilla, sendirian aja nih ?! biasanya sama temen lo yang item itu. Siapa namanya ? Tio ya kalo gak salah” ck, Cakka Cakka. Baru saja muncul sudah menghujani Shilla dengan kebawelannya. Tanpa diminta, siswa kelas 2 itu asal duduk saja pada kursi di hadapan Shilla. Kantin saat itu sepi. Maklum, istirahat kedua.

Shilla menggelengkan kepalanya. “Rio, Cakka. Bukan Tio”

Cakka mengibaskan tangannya kedepan. “Alah, iya itu maksud gue. Kemana dia ? gak keliatan batang idungnya”

“Lagi ada urusan buat persiapan pemilihan ketua OSIS yang baru. Dia kan mau lengser dari jabatannya” jawab Shilla.

“Oh, gue gak tau loh dia ketos. Maklum, gue pindahan sih”

“Sebelumnya kamu sekolah dimana ?”

“Bandung”

“Oh” sahut Shilla singkat. Cakka mendelik. “Yah, kok responnya Cuma ‘Oh’ ?”

“Lah terus ? aku harus jawab apa ?”

Entah mengapa Cakka malah tertawa kecil. “Gak papa. Muka lo kalo lagi gitu tambah cantik”

Shilla hanya tersenyum simpul mendengar pujian tak kentara dari Cakka.

“Eh Shill..gue boleh..tanya sesuatu gak ?”

“Apaan ?”

Cakka menarik nafas dalam. Ekspresi mukanya berubah serius. “Sebelumnya gue gak pernah ngerasain ini. Gue adalah..seorang cowo yang cenderung lebih respect sama cewe yang..seumuran atau yang lebih muda dari gue”

“...”

“Tapi setelah ketemu lo, semua beda. Gue baru percaya ungkapan lawas yang bilang kalo..cinta itu buta. Ya, cinta memang buta. Pertama kita ketemu. Pertama gue liat mata lo, liat kecantikan lo. Lo itu..sempurna. yah..meskipun sempurna hanya milik Tuhan. Tapi untuk makhluk-Nya, lo yang paling mendekati kata sempurna” lanjutnya.

Shilla masih menunggu ucapan Cakka selanjutnya.
“Dan anehnya, rasa itu mulai nancep disini, dihati gue. Bahkan makin hari makin kuat. Lo tau ? gue semangat pergi ke sekolah, itu Cuma pengen ketemu lo. Gue pengen jadi orang pertama yang nyapa lo di sekolah. Gue seneng tiap lo ketawa pas gue ngebanyol” tiba-tiba Cakka menarik tangan Shilla. Lalu menggenggamnya. “Gue..suka sama lo Shill. Lo mau gak, jadi..cewe gue ?”

Shilla terperanjat. Harus jawab apa ? gadis itu tak punya rasa apapun pada pemuda didepannya. Tapi kebaikan Cakka selama ini..eh eh, tapi dalam cinta, tak ada balas budi kan ?

“Gimana ?” Cakka menatap Shilla penuh harap.

Shilla menghela. “Aku..gak bisa jawab sekarang Cak. Kasih aku waktu. Oke ?”

*
Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ia tak percaya bahagia itu ada. Keyakinannya sirna..

“Shilla, lo dipanggil Alvin ke taman belakang noh” ucap Irva, teman sekelas Shilla. Shilla menyernyitkan dahinya. Alvin ? memanggilnya ? ada perlu apakah ? biasanya tak se-misterius ini ?

Oke, ketimbang berimajinas yang bukan-bukan, lebih baik Ia temui Alvin sekarang.

Gadis itu tak menaruh curiga. Ah, andai saja saat melewati kelas Alvin, Ia menoleh sedetik saja. Pasti Shilla tau keganjilan yang tengah menantinya di taman belakang.

Kenapa ? karena Alvin ada dikelasnya. Tengah mengikuti pelajaran Sejarah.

Jadi, siapa yang dimaksud Irva ?”

“Vin ? Kamu..dimana ?” Shilla mencoba memanggil nama pemuda itu kala Ia tak melihat siapapun di taman belakang.

Hening.

“Ashilla..” ketika merasa ada yang menyebut namanya, Shilla menoleh dan..

BYURR !!

“HAHAHA!! Putri GEMBEL ! RASAIN !” tawa itu meledak. Tawa oknum yang berhasil menumpahkan ember berisi air-com-be-ran ditambah sampah plastik dan dedaunan yang jatuh dari pohon besar di taman belakang. Yang kini, semua racikan itu tumpah membalut tubuh Shilla.

“Oik ?!!” pekik Shilla. Sungguh, Ia tak menyangka bahwa Ia akan dikerjai.

“Kenapa ? lo mau marah ?!! MARAH CEPET ?!! makanya jadi cewe jangan KEGATELAN!! Lo pikir gue gak tau, apa yang tadi lo lakuin sama Cakka di kantin ?!! ngapain lo pegangan tangan sama dia ?! mau cari perhatian ?!! hah ?! lupa lo itu siapa ? Cuma UPIK ABU yang GAK BERGUNA !!” amuk Oik.

“Lo tuh..ck, RAKUS banget sih ?!! lo kan udah punya Rio ?! udah cukup kan buat lo ?!! gausah ngembat Cakka sama kak Alvin lagi ?!! ngerasa cantik hah ? makan tuh cantik !! Lo itu Mu..rah..an!! pantesnya cewe kaya lo itu ditempatin di..terminal terminal gitu deh, mejeng cari COWO! Bukannya disini! Ups..haha” gadis itu masih saja belum puas menyerang Shilla dengan kata-kata pedasnya. Herannya, si korban malah diam saja. Seakan Ia tuli.

Memang, Shilla berusaha mati-matian untuk menulikan telinganya.

“Yuk Girls, cabut. Ga nahan disini, bau SAM? PAH!” Oik dan gank-kremoz-nya meninggalkan TKP. Tinggalah Shilla sendiri. Gadis itu tak mungkin kembali ke kelas dalam keadaan kotor dan bau seperti ini. Ck, padahal jam terakhir merupakan mata pelajaran Pak Ony, guru Killer di sekolahnya.

Shilla beringsut dan jatuh terduduk. Dipeluknya kedua kakinya. Ia menangis. Perih, sungguh..Ia merasa sangat kerdil. Merasa hanya Ia-lah umat di Bumi yang tak layak mendapat kebahagiaan.

“Shilla..astaga” seru seseorang. Shilla menoleh. “Rio ? kamu..ngapain disini ?”

Rio memburu sahabatnya. “Kamu kenapa ? siapa yang ngelakuin ini sama kamu ?”

Shilla menggeleng. Rio sudah bisa membaca apa yang terjadi. Jika bukan Sivia, pasti Oik pelakunya. Maka pemuda itu melepas seragamnya. Tinggalah kaos putih polos yang membalut tubuh pemuda itu.

“Nih, pake seragam aku” tanpa menunggu persetujuan Shilla, Rio balutkan punggung Shilla dengan seragamnya. Masa bodoh seragamnya akan kotor dan bau. Rio tak peduli. Pemuda itu menarik Shilla untuk menyandar di pundaknya.

“Pasti..karena masalah cowo ya ?” tebak Rio. Tangis Shilla makin deras. “Aku tuh..kasian banget ya Yo. Kenapa harus aku yang dipilih Tuhan buat jalanin semua ini ? aku gak kuat Yo”

“Aku bisa terima tujuan Tuhan kasih aku cobaan ini. Aku bisa terima. Tapi untuk menjalaninya lebih lama, aku gak bisa. Kalo memang Oik pengen aku jauhin Cakka, oke aku lakuin !!”

Rio hanya diam. Membiarkan Shilla mengeluarkan uneg-uneg nya mungkin salah satu cara baik agar gadis itu lega.

“Aku..pengen ketemu Ayah sama Bunda, Yo. Aku..pengen kumpul-kumpul lagi sama mereka. Aku kangen sama Ayah Bunda Yo..” rintih Shilla tak tertahan.

Rio memejamkan matanya. Sabar Shill Sabar. Aku mohon sabar, batinnya.

Dan pada akhirnya, kedua manusia itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga bel pulang berdering.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ia memilih, lebih baik mencintai daripada dicintai..

“Rio !!” pemuda itu menoleh. Dilihatnya Alvin tengah berlari kecil kearahnya.

“Kenapa Vin ?”

“Shilla hari ini gak masuk ya ? kenapa ?”

“Dia..sakit”

“Sakit apa ?” nada suara Alvin terdengar khawatir.

Rio mengedikkan bahu. “Demam”

“Oh, boleh gue jenguk nanti ?”

Rio berpikir sejenak. Sejak peristiwa di taman belakang 2 hari yang lalu, Shilla jatuh sakit. Pemuda itu bimbang. Jika Ia mengijinkan Alvin menjenguk Shilla, Ia takut itu malah akan menjadi boomerang untuk gadis itu. Kalau-kalau Sivia melihat perhatian berlebih yang Alvin tunjukkan ke Shilla. Tapi, apa salahnya mengijinkan Alvin menjenguk Shilla ? Siapa tau saja kehadiran pemuda oriental itu malah sanggup memompa semangat Shilla.

Jadi..bagaimana keputusannya ?

“Terserah lo deh. Tapi..jangan lama-lama ya. Dia butuh istirahat” pesan Rio. Alvin mengangguk mantap. “Sip. Thanks ya”

Sepulang sekolah..

Alvin memarkir Nissan X-Trail Silvernya didepan rumah Shilla. Rumah bercat Hijau daud itu terlihat sepi. Vios Hitam kepunyaan Mama tiri Shilla yang biasanya terparkir pun tak ada. Mungkin sang Nyonya Besar sedang pergi berbelanja.

Langkah pemuda itu telah sampai didepan pintu utama. Tangannya tergerak untuk memencet bel. Tak lama, pintu terbuka.

“Shilla…” didepannya, berdiri gadis yang terlihat sangat pucat dan lemah.

“Kamu ngapain kesini ?” tanya Shilla datar. Nada suaranya pun bergetar. Terlihat jelas kondisi kesehatan gadis itu yang menurun.

“Aku Cuma mau jenguk kamu. aku khawatir sama kondisi kamu. boleh aku masuk ?” pinta Alvin. Mengingat tempo hari Shilla pernah mengumbar janji, jadilah gadis itu mengijinkan Alvin masuk kedalam rumahnya.

Rumah sepi. Hanya ada Shilla disana. Dan Alvin tentu saja. Mama Tirinya sedang ada arisan dengan rekan-rekannya. Sementara dua saudara tirinya belum pulang sekolah.

Meski sakit, bukan berarti pekerjaan rumah diangkat dari punggung gadis itu. Itu sudah peraturan. Tak bisa dilanggar dengan alasan apapun, sampai Bik Omah kembali. Begitu kata Mama tiri Shilla.
“Maaf ya aku tinggal. Aku harus masak. Buat makan siang mama & saudara-saudaraku” ijin Shilla. Membuat kening Alvin berkerut.

“Pembantu kamu kemana ?”

“Pulang kampung. Anaknya sakit”

“Dan, gak ada penggantinya ?”

Shilla menggeleng tanpa menoleh. Pandangannya terpusat pada bawang merah yangs edang Ia iris.

“Loh berarti, selama pembantu kamu pulang, semua pekerjaan rumah kamu yang ngerjain ?” tanya Alvin. Lagi.

Shilla mengangkat wajahnya, hanya tersenyum. Tanpa berkata apapun. Jelas saja, Ia tak mau membuat nama mama Tiri dan saudara-saudara tirinya tercemar jika Ia mengatakan yang sebenarnya.

Pemuda itu berdiri, menghampiri Shilla yang tengah asik dengan wajannya.

“Jangan-jangan..mereka ya, yang nyuruh kamu ngerjain semua ?” Alvin memastikan. Karena walau tak begitu dekat, tapi Alvin cukup tau siapa Sivia & Oik. Siswi yang terkenal Glamour dengan segala barang ber-merk yang senantiasa mereka pamerkan ke sekolah. Tipe gadis seperti itu tentu bukan tipikal gadis yang suka mengerjakan pekerjaan rumah.

“Jawab Shill” desak Alvin. Shilla tak tau harus menjawab apa. Juga karena tiba-tiba tubuhnya limbung. Pusing dikepalanya lah faktor utama. Dan..saat tubuh gadis itu oleng, dengan sigap Alvin menahannya. Menahan pundak Shilla dengan kedua tangannya.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Sampai entah detik keberapa. Mata itu bertemu. Dua hati yang saling bertautan. Mencoba membaca detak rasa yang mengalir tiap nafas mereka.

“Aku cinta sama kamu Shill” lirih Alvin. Pelan sekali, hingga nyaris berbisik. “Sejak dulu. Saat MOS, pertama aku liat kamu” sambungnya.

Shilla mendegut ludah. Dalam waktu 4 hari, ada dua lelaki yang menyatakan cinta padanya. Gadis itu jadi teringat bahwa Ia belum memberikan jawaban pada Cakka.

“Aku..bisa memastikan kalo aku gabisa hidup tanpa kamu, Shill” Alvin menyambung. Diam-diam Shilla berdoa, semoga saja detak jantungnya tak didengar oleh Alvin. Jujur, memang perasaan Alvin tak bertepuk sebelah tangan. Karena Shilla pun punya rasa serupa.

Shilla menarik nafas dalam-dalam. “Aku..aku juga sayang sama kamu”

Tarikan pada rahang pemuda itu menyunggingkan senyum. Senyum tipis. “Makasih”

Waktu terasa berhenti berputar. Saat Alvin perlahan, mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla. Ah, dari jarak sedekat inipun, gadis itu masih dan bahkan terlihat semakin ayu. Mata Shilla terpejam. Entah seberapa dekat jarak mereka hingga Shilla bisa merasakan nafas Alvin.
Tapi tidak. Tak ada kontak fisik apapun diantara mereka. Alvin hanya ingin menikmati ukiran sempurna pada wajah gadis didepannya.

“APA-APAAN NIH ?!!” teriak seseorang yang refleks, menjauhkan jarak antara Alvin dan Shilla. Keduanya menoleh. Garis amarah tergambar jelas di wajah Sivia. Jelas saja, gadis berkulit putih itu pasti menyangka Alvin mencium Shilla. Mengingat posisi mereka yang begitu..dekat. dibelakang Sivia muncul Oik.

“Via..Vi, kita gak..” Shilla mencoba menjelaskan. Namun Sivia berjalan cepat kearahnya. Dan..

PLAK!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

“MURAHAN !! LO TAU KAN KALO GUE SUKA SAMA ALVIN ? KENAPA LO REBUT JUGA ?!! SETELAH CAKKA ?!! DIMANA MUKA LO, GUE TANYA ?!! DIMANA MUKA LO !!” amuk Sivia.

“Dan Lo, Alvin! Keluar dari rumah gue sekarang!” usir Via.

“Gue gak bisa pergi setelah ngeliat apa yang lo lakuin ke Shilla. Asal lo tau ya, gue yang suka sama dia. Bukan dia yang kecentilan ke gue” elak Alvin.

“GUE GAK PEDULI!! KELUAR DARI RUMAH GUE SEKARANG !! INI RUMAH GUE DAN GUE BERHAK NGUSIR LO!!”

“Oke, gue bakal keluar. Tapi denger ya, sampe ada apa-apa sama Shilla, gue yang akan bales semua ke lo” ancam Alvin sebelum akhirnya pemuda itu benar-benar pergi.

Sepeninggal Alvin, suasana makin memanas. Sivia menatap tajam kearah Shilla. Sungguh, kemarahannya telah mencapai ubun-ubun melihat adegan tadi.

“Vi..dengerin aku dulu. Tadi itu…”

“Alah, mau jelasin apa lagi lo ?!! lo itu..MUNA! siapa yang bilang gak ada hubungan apa-apa ? LO kan ?!! lo ga mikirin perasaan gue ya Shill. MURAHAN !! rasain nih !” selesai berkata demikian, Sivia meraih spatula yang terdiam di wajan, lalu menyiramkan minyak panas yang terbawa pada spatula itu, ke tangan Shilla. Gadis itu meronta.

“RASAIN LO! Pelajaran buat lo, untuk jangan main-main sama yang namanya Via !” hanya begitu. Lalu Oik dan Sivia naik ke lantai 2. Menuju kamar mereka.

Shilla meringis kesakitan. Ia murka. Murka pada dirinya sendiri. Mengapa Ia begitu bodoh ?!

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Ia tak lagi menunggu cinta menyapanya. Pencariannya cukup sampai disini..

Rio selesai membalutkan salep ke jemari Shilla yang sedikit melepuh akibat minyak panas. Gadis itu beberapa kali ber’aduh’ karena rasa perih lukanya. Namun itu tak seberapa dengan pedih di hatinya.

“Via itu udah keterlaluan Shill. Bukan Cuma Via, tapi juga Oik. Kamu bisa loh, laporin mereka ke polisi. Dengan tuduhan penganiayaan” ujar Rio sembari menutup ujung salep dengan penutupnya.

Shilla menggeleng. “Mereka dipenjarapun, gak akan mengobati luka di hati aku Yo. Sumpah aku sakit banget dihujani kata-kata pedes sama mereka”

“Kamu itu..terlalu sabar Shill. Terlalu baik”

Shilla tersenyum hampa. “Yo, kenapa sih, menurut kamu, kenapa sih Tuhan kasih semua ini untuk aku ?”

Rio menatap Shilla dalam. “Karena kamu yang terpilih. Karena kamu yang disayangi Tuhan. Tuhan pengen menguji kesabaran kamu dengan cobaan ini. Percaya Shill, Dia gak akan memberikan ujian melebihi kemampuan kamu”

“Tapi aku udah gak mampu Yo. Bunda aku pergi saat aku masih kecil. Ayah juga ikutan pergi. Belum lagi, perlakuan kasar Mama dan Saudara tiri aku. Aku udah berusaha buat tetep baik sama mereka. Aku berusaha untuk berfikir positif ke mereka. Tapi apa ? apa yang aku dapet Yo ?! hujaman & celaan, perlakuan gak enak, bentakan ?!” protes gadis itu.

Tangan Rio tergerak untuk merangkul Shilla. “Dan untuk ngedapetin kekasih aja, gak ada kesempatan buat aku”

Rio mendelik. “Kamu..beneran suka sama Alvin ?”

Shilla mengangguk. “Sejak dulu Yo. Kamu tau kan ?”

“….”

“Dunia itu..aku bilang gak adil ya. Katanya orang kuat gakbisa semena-mena. Tapi buktinya ? nyatanya yang kuat memang yang menang. Aku bingung Yo, segitu nyedihinnya ya aku. Sampe Tuhan gak kasih kesempatan aku bahagia sama laki-laki yang aku cintai. Apa emang aku gak pantes bahagia ? ato aku gak pantes dicintai ?” mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

“Shilla, ada penjelasan atas 2 teori kamu yang salah. Pertama, yang kuat memang yang menang. Itu bener, mereka yang kuat menjalani ujian dari Tuhan, seberapa pun beratnya, mereka akan menang. Memenangkan tiket menuju surga. Kedua, semua orang di dunia ini berhak bahagia. Mereka diciptakan berpasang-pasangan. Kalo Alvin bukan jodoh kamu, ikhlasin dia pergi. Karna mungkin diluar sana, Tuhan udah menciptakan laki-laki yang jauh lebih baik dari Alvin. Untuk kamu. hanya untuk kamu” jelas Rio yang seolah menyindir dirinya sendiri.

Shilla terdiam. Mencerna betul kata-kata Rio. “Iya sih. Tapi aku kapok Yo, saat ini..aku bakal berusaha ngelupain Alvin maupun Cakka. Aku gak mau terluka lagi. Jika dicintai lebih menyakitkan, mungkin aku bakal lebih milih mencintai..ketimbang dicintai”

Rio mengusap-usap pundak gadis itu. “Apapun itu, aku dukung. Terpenting adalah kamu bisa bahagia”
Tiba-tiba Shilla mendongak. Menatap wajah bijak Rio. “Yo, kenapa sih kamu setia banget ada disamping aku ? emangnya..kamu gak cape apa, selalu dengerin keluhan aku ? emang kamu gak cape, selalu nyeka airmata aku ?”

Rio tersenyum. “Shilla..Shilla. gimana ya, mungkin karena kita udah ditakdirkan bersahabat sejak kecil kali ya. Aku gak pernah cape. Gak pernah bosen. Apalagi sampe berniat ninggalin kamu. gak, gak akan aku lakuin. Aku bakal ngejagain kamu, sampe aku berhenti bernafas”

“Bener ? janji ya ? karena setelah ayah Bunda pergi, Cuma kamu penopang ketegaran aku Yo”

“Iya, aku janji. Janji juga, kamu harus lupain Alvin & Cakka”

Kedua sahabat itu saling mengaitkan kelingkingnya masing-masing.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tuhan, akhirilah penderitaannya..

“Lo ajak gue kesini ? mau bicara apa ?” tanya Alvin saat Rio mengajaknya ke aula sekolah yang sepi. Maklum, sepulang sekolah.

BUKK!!
Tanpa aba-aba satu bogem mentah Rio layangkan ke muka Alvin. Pemuda sipit itu tersungkur. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

“apa-apaan sih lo ?!!” marah Alvin.

“Itu..satu pukulan karena lo udah buat Shilla disakitin sama Via!”

“Maksud lo apa ?!”

Rio menarik bibirnya keatas. Hanya ke kanan. Sehingga terkesan senyum licik. “Lo tau ? gara-gara lo, tangan Shilla nyaris melepuh akibat disiram minyak panas sama Via. Hanya karena satu, cemburu”

Alvin bangkit. Pemuda itu terperanjat. “Lo..serius ?”

“Buka mata lo lebar-lebar!! Shilla udah cukup tersiksa atas apa yang lo lakuin. Juga Cakka lakuin. Dia dijahatin sama dua saudara tirinya hanya karena Shilla deket-deket sama lo & Cakka!!”

“Gue gak peduli dengan Rakka, Cakka atau siapa lah itu. Tapi untuk gue, gue yang deketin Shilla. Bukan Shilla yang deketin gue” terang Alvin.

“Gue juga tau! tapi apasih pedulinya Via & Oik ?! mereka Cuma liat Shilla yang KECENTILAN sama PACAR mereka !”

“Gue bukan cowonya Via” tegas Alvin.

“Terserah apa kata lo. Gue, gue sayang sama Shilla. Gue yakin lo juga sayang sama dia. Gue mohon Vin, jauhin Shilla. Demi kebahagiaannya. Gue gak mau dia tambah menderita. Lupain Shilla, demi dia” tanpa diduga, Rio berlutut. sungguh, apapun akan Rio lakukan demi Shilla.

Alvin termenung. Sulit rasanya melupakan gadis yang hampir 3 tahun dicintainya. Tapi, Ia tak boleh egois. “Gue..gue bakal berusaha lupain dia”

Rio tersenyum puas. Selanjutnya tinggal memberi tahu Cakka.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik Abu.
Tiada lagikah setitik cinta untuknya ?

Ketulusan adalah, ketika kamu ikhlas melepas seorang yang kamu cintai, bahagia bersama orang lain. Itulah yang dirasakan Shilla saat ini. Entah ada angin apa, keesokan harinya. Hari pertama Ia sekolah setelah 4 hari tak masuk karena sakit. Baru saja menapaki gerbang, gadis itu sudah disodorkan pemandangan mengejutkan. Kala melihat motor Suzuki Satria milik Cakka melintas, dengan Oik yang duduk manis di boncengan pemuda itu. Cakka sempat melirik Shilla, tapi langsung membuang pandangannya.

Kejutan untuk sang Upik Abu tak hanya sampai disitu. Saat jam istirahat tiba, gadis itu dibuat tercengang oleh dua orang yang tengah bermanis ria duduk pada satu meja. Alvin, dan Sivia.

Jujur, Shilla terluka. Sangat terluka. Baru beberapa hari lalu Alvin menyatakan cinta. Tapi kini ? malah bersama gadis lain. Bahkan Alvin tak melempar tatapan walau hanya sedetikpun, pada Shilla. Sebegitukah hati lelaki ? yang cepat sekali berubah ?

“Shill, inget janji kamu” lirih Rio. Pemuda itu menggenggam jemari Shilla.

Shilla menoleh, lalu tersenyum. “Pasti Yo”


Semua berlalu cepat. Perlahan, gadis itu sudah mulai melepaskan seluruh perasaannya pada Alvin. Dan melupakan pemuda itu sepenuhnya. Kepergian Alvin, membuat ruang kosong dihatinya nampak menganga. Tapi Shilla tak ambil pusing. Karena baginya, kehadiran Rio sebagai sahabat saja sudah cukup. Tak ada waktu mencari pangeran pujaan. Karena dia akan datang sendiri. Suatu saat nanti.

“makasih Yo, karena kamu udah ngembaliin semangat aku” gumam Shilla.

*

Kisahnya bukan Kisah Upik abu.
Ketika asa memupus, mati adalah pilihan terakhir..

“Apa ? kamu mau ke Manado ?” tanya Shilla saat Rio menjelaskan rencana kepergiaannya ke Manado.

Rio mengangguk. “Nenek aku sakit Shill. Kamu gak papa kan, aku tinggal beberapa hari sendirian ?”
“Gak kok, tenang aja Yo. Via sama Oik gak akan jahatin aku lagi. Kan sekarang mereka udah punya Alvin sama Cakka” janji Shilla.

“Aku berangkat besok Shill, jaga diri baik-baik ya. Aku bakal kembali buat kamu. buat jagain kamu”

*
Setelah keberangkatan Rio

“Shilla, bikini minum buat gue sama Alvin dong !!” perintah Sivia keras. Dengan langkah tergopoh-gopoh, Shilla datang dengan nampan berisi 2 Orange Juice yang Ia letakan diatas meja ruang tamu.

Mata Alvin tak bisa lepas dari gadis itu. Berapa lama Ia harus menjalani hari-harinya dengan topeng ini ? berpura-pura mencintai Sivia, hanya demi kebahagiaan Shilla ? apakah Ia mampu memakai topeng itu lebih lama ? ataukah..ego nya lebih memenangkan dirinya ?

“Eh Vin, aku siap-siap dulu ya. Kamu tunggu disini bentar. Ntar abis itu kita langsung jalan” pesan Sivia. Gadis itu melangkah cepat menuju kamarnya.

Mungkin ini saatnya bicara dengan Shilla. Pikirnya. Pemuda itu bergegas menuju dapur.

“Kita harus bicara” ucap Alvin. Namun Shilla menolak. “Enggak. Semuanya udah selesai. Tolong jangan ajak aku bicara”

Rupanya pemuda itu tak terima begitu saja dengan penolakan Shilla. Ditariknya gadis itu paksa kedalam rengkuhannya. “Aku sayang sama kamu, Shill. Masih dan akan selalu begitu. Aku terpaksa pacarin Sivia karena aku gak mau kamu dijahatin sama dia..”

“Kalian..?!” pekik seseorang. SIVIA!!

“SHILLA, LO ITU..EMANG BENER-BENER CEWE MURAHAN !!! GUE BENCI SAMA LO !!!”

Semua berlalu begitu cepat. Hingga Shilla tak ingin mengingat kejadian yang berlangsung sejam yang lalu. Saat Sivia menjambak rambutnya, lalu menamparnya. Saat Alvin dan Sivia terlibat pertengkaran hebat akibat dirinya. Saat Sivia memecahkan cangkir dan melukai tangan Shilla.

Sekarang, Shilla terisak didalam kamarnya. Dikiranya ujian Tuhan sudah selesai, tapi ternyata..ini hanya sebuah awal. Bukan akhir.

Shilla meraih ponsel yang Ia simpan dibawah bantal. Gadis itu menekan beberapa digit nomor ponsel Rio.

“Ha..Halo..Yo…” tegur Shilla saat sambungan terangkat. Isakannya terdengar jelas.

“Shill, Shilla kamu kenapa ? kamu nangis ?!”

“Aku..Aku gak..Aku gak..kuat Yo..Aku..Aku..pengen ketemu Ayah sama Bunda..hh..hmmbf..” tangis Shilla makin keras. Gadis itu tak kuasa menjawab rentetan pertanyaan panik Rio. Jadilah Ia menutup sambungan telpon secara sepihak.
Drrtt..drrtt..
Shilla mengabaikan getaran ponselnya. Ia hanya ingin menenangkan diri.


*
Kisahnya Bukan Kisah Upik Abu.
Tak ada takdir Indah diakhir kisahnya..

Penyesalan itu tak akan pernah pergi menghantui hidupnya. Selama-lamanya.

Shilla sungguh menyesal. Andai saja Ia sempat mencegah. Andai saja Ia tak begitu manja dengan mengadu ke Rio. Mungkin, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi.

Rio meninggal dalam kecelakaan pesawat yang membawanya pulang ke Jakarta. Itu terjadi sekitar 4 jam yang lalu. Kini Shilla tengah berada di rumah Rio dengan sejuta duka yang tak mampu digambarkan.

“Maaf.maafin aku Yo..ini semua gara-gara aku. Maaf” isak Shilla. Diam-diam gadis itu membongkar kotak masuk ponselnya. Membuka sms yang tadi sempat diabaikannya. Sms yang ternyata dari..Rio.

Sender : Rio

Apapun yang terjadi sama kamu, aku akan pulang hari ini juga.
Tunggu aku, aku bakal kasih pelajaran ke siapapun yang udah buat km nangis!

Jika tidak ada Rio, lalu siapa yang memberikan pundaknya untuk tempat bersandar Shilla ??

-THE END-

copy: Mee Chimeth Chimeth